Wednesday, June 8, 2011

Masjid Agung Damaskus, Peninggalan Daulah Umayyah

Sumber : wikipedia

Salah satu tempat yang layak dikunjungi atau diziarahi di Timur Tengah adalah Masjid Agung Damaskus, lebih dikenal dengan sebutan Masjid Umayyah. Ia termasuk salah satu tertua dan suci di dunia, terletak di ibukota Suriah, Damaskus.

Dalam kompleks masjdi, di taman kecil sebelah dinding utara terdapat Makam Salahuddin Al-Ayyubi, pahlawan terkenal dalam sejarah Islam. Selain itu, masjid ini konon menyimpan sebuah kuil kecil yang berisi kepala sang Pembaptis Yohanes, yang dianggap sebagai Nabi oleh umat Kristen.

Damaskus diyakini sebagai salah satu kota tertua di dunia yang didiami umat manusia dengan berbagai peradaban yang silih berganti. Dan di antara peradaban yang pernah tumbuh dan berkembang di kota ini adalah Islam.

Masjid Umayyah berdiri di tanah yang dianggap suci selama setidaknya 3.000 tahun. Sekitar 1.000 tahun sebelum Masehi, kaum Aram membangun kuil—di lokasi di mana masjid berdiri—sebagai tempat pemujaan terhadap Hadad, dewa badai dan petir. Sebuah basal orthostat (batu) yang berasal dari periode ini, bergambar sphinx, ditemukan di sudut timur laut masjid.

Pada awal abad pertama Masehi, bangsa Romawi tiba dan membangun sebuah kuil besar untuk Dewa Jupiter atas kuil Aram. Kuil Romawi ini berdiri di atas serambi empat persegi panjang (temenos) yang berukuran sekitar 385 meter 305 meter, dengan menara persegi di tiap sudutnya. Bagian dinding luar temenos masih bertahan, namun hampir tak ada yang tersisa dari kuil itu sendiri.

Pada akhir abad ke-4, kawasan kuil menjadi situs suci Kristen. Kuil Jupiter dihancurkan dan sebuah gereja dibangun di atasnya sebagai persembahan kepada Yohanes Sang Pembaptis.

Kaisar Theodosius (330 M) melarang penyembahan dewa-dewa dan mengubah bangunan ini menjadi sebuah gereja katedral dengan nama Gereja St John Baptist Basilika. Gereja tersebut diyakini sebagai tempat untuk mengabadikan kepala Yohanes, dan menjadi situs paling penting sebagai
tujuan ziarah di era Byzantium.

Semasa Dinasti Umayyah (661-750 M), Damaskus menjadi ibu kota dunia Islam. Para khalifah Umayyah yang memerintah dari Damaskus menguasai seluruh kawasan, mulai dari Spanyol hingga ke India. Sejarah mencatat, peradaban Islam telah meninggalkan banyak bangunan indah di Damaskus, ibukota negara Suriah.

Masjid Umayyah (Umawi) dibangun pada masa Khalifah Al-Walid bin Abdul Malik (88-97 H/705-715 M) dari Dinasti Umayyah. Arsitekturnya telah memberi pengaruh bagi seni bangun masjid di seluruh dunia. Dari masjid inilah, arsitektur Islam mulai mengenal lengkungan, menara segi empat, dan maksurah.

Awalnya, penaklukan Muslim atas Damaskus pada 636 Masehi tidak memengaruhi gereja, karena bangunan itu dipakai bersama oleh Muslim dan Kristen. Bangunan ini tetap berupa gereja dan kian menarik minat para peziarah Kristen. Kaum Muslimin membangun struktur lumpur-bata di dinding selatan agar mereka dapat melakukan shalat.

Walau demikian,  Khalifah Al-Walid akhirnya menghancurkan gereja dan membangun masjid. Khalifah memberikan ganti rugi kepada orang-orang Kristen sebagai kompensasi. Konon cerita, Al-Walid sendiri yang memulai pembongkaran dengan memancangkan paku emas ke dalam gereja.

Pada waktu itu, Damaskus adalah salah satu kota yang paling penting di Timur Tengah dan menjadi ibukota dari kekhalifahan Umayyah. Masjid Umayyah dibangun dengan struktur yang megah, yang melibatkan ribuan pekerja dan ahli ukir Koptik, Persia, India dan Byzantium.

Masjid Umayyah direnovasi beberapa kali akibat kebakaran di tahun 1069, 1401 dan 1893. Pada tahun 2001 Paus Yohanes Paulus II mengunjungi masjid ini, terutama untuk mengunjungi relik Yohanes Sang Pembaptis. Ini adalah pertama kalinya seorang paus berkunjung ke masjid.

Masjid Umayyah merupakan salah satu bangunan yang paling impresif di dunia Islam, halaman yang lapang dan ruang shalat yang luas. Beberapa mosaik asli abad ke-8 masih dipertahankan. Menara-menara yang dibangun pada masa Al-Walid tetap juga masih bertahan hingga kini.

Masjid Agung Damaskus atau Masjid Umayyah, kadang juga disebut Masjid Umawi, sangat layak dikunjungi dan menjadi tujuan ziarah jika ada kesempatan dan kemudahan ke sana. Ia adalah salah satu lambang kejayaan Islam yang masih tersisa hingga kini.

Sumber : Republika

Al-Bara, Kota Mati di Tanah Bani Umayyah

Pyramid Tomb, Al Bara, Hamah, Syria
This travel blog photo's source is TravelPod page: Day 53: Hama and the Dead Cities
Selain Masjid Agung Damaskus atau Masjid Umayyah (Umawi), tujuan wisata menarik lainnya di Syria atau Suriah adalah kota Al-Bara. Kawasan ini disebut Kota Mati, kadang juga disebut Kota Berhantu peninggalan Byzantium.

Al-Bara atau Bara adalah "Kota Mati" paling luas di utara Suriah dan merupakan salah satu tempat terakhir yang ditinggalkan penghuninya. Kawasan ini dulunya merupakan benteng Kristen Timur sampai kedatangan Tentara Salib pada abad ke-11.

Al-Bara terletak di Jebel Riha, sekitar 65 kilometer ke utara dari kota Hama dan sekitar 80 kilometer ke barat daya dari kota Aleppo. Dulunya kawasan ini merupakan pemukiman yang didirikan pada abad ke-4, pada jalur perdagangan penting antara Antiokhia dan Apamea. Karena lokasi dan kondisinya yang sangat baik untuk menghasilkan anggur dan minyak zaitun, maka kawasan ini berkembang pada abad ke-5 dan 6.

Ketika Muslim menaklukkan wilayah ini dan rute perdagangan terganggu serta Kota Mati lainnya ditinggalkan, Bara tetap dihuni. Sebagian besar oleh penduduk Kristen, dan bahkan menjadi kota bawahan keuskupan Antiokhia.

Pada 1098 Bara ditaklukkan oleh tentara Salib—dari sini kemudian mereka melakukan pembantaian kanibalistik Ma'arat Al-Numan yang terkenal—yang dipimpin oleh Raymond de Saint-Gilles.

Pada 1123 kota ini direbut kembali oleh umat Islam yang membangun sebuah benteng kecil. Kemudian pada abad ke-12, setelah gempa besar menghancurkan sebagian wilayah, kota ini ditinggalkan.

Kemudian, pada awal abad ke-20, sebuah desa modern dengan nama yang sama muncul di dekat lokasi kota kuno dan hingga hari ini telah berkembang menjadi sebuah kota kecil.

Puing dan reruntuhan merupakan bagian terluas dari Kota Mati ini, tersebar di antara ladang anggur dan kebun zaitun. Di antara sisa-sisa reruntuhan masih terdapat berbagai villa besar, biara, dan bekas gereja Bizantium.

Struktur yang paling mencolok adalah sepasang makam piramida, berdiri kokoh sekitar 200 meter di tempat agak terpisah. Makam monumental ini dihiasi ukiran daun acanthus, yang menegaskan kekayaan kota ini pada satu waktu di masa lampau. Selain piramida, masih terdapat beberapa sarkofagus yang disegel dan dihiasi.

Dengan mengunjungi Al-Bara, sedikit tidak akan mengingatkan kita akan masa keemasan Islam ketika Daulah Umayyah berkuasa, di mana mereka dapat menyebarkan Islam hingga ke benua Eropa.

Sumber : Republika

Aleppo, Kota Para Khalifah Umayyah


Aleppo adalah kota terbesar di Suriah dan termasuk yang paling padat penduduknya. Nama kuno Aleppo adalah Halb, yang berarti besi atau tembaga. Halb mengacu pada bahasa Amori, karena tembaga merupakan sumber utama logam kawasan ini pada zaman kuno. Halaba dalam bahasa Aram berarti putih, mengacu pada warna tanah dan marmer yang melimpah di daerah tersebut.

Selama berabad-abad, Aleppo (Halb) menjadi kota terbesar di Suriah, terbesar ketiga Dinasti Utsmaniyah setelah Konstantinopel dan Kairo. Walau dekat dengan Damaskus dalam hal jarak, namun Aleppo sangat berbeda dalam hal identitas, arsitektur dan budaya. Semuanya ditandai dengan sejarah dan geografi yang berbeda.

Aleppo merupakan salah satu kota tertua di dunia yang terus-menerus dihuni hingga kini. Kota ini ditinggali kira-kira sejak enam milenium sebelum Masehi. Penggalian arkeologis di Tell Qaramel—sekitar 25 kilometer sebelah utara Aleppo—menunjukkan kawasan ini telah dihuni sejak 11 milenium sebelum Masehi, yang menjadikannya sebagai salah satu pemukiman manusia tertua yang diketahui di dunia.

Peran vital Aleppo dalam sejarah adalah karena lokasinya yang berada di ujung lintasan Jalur Sutra (Silk Road), yang menghubungkan Asia Tengah dan Mesopotamia. Ketika Terusan Suez diresmikan pada 1869, jalur perdagangan pun diarahkan melalui laut. Dan Aleppo secara perlahan mulai kehilangan pamor.

Seiring dengan keruntuhan Khilafah Ustmaniyah usai Perang Dunia I, Aleppo menyerahkan pedalaman utaranya ke Turki modern, seiring dengan kian pentingnya jalur kereta api yang menghubungkan kota itu ke Mosul. Kemudian pada 1940-an, Allepo kehilangan akses utamanya ke laut, Antiokhia dan Alexandretta (Iskandaria), juga ke Turki.

Akhirnya, isolasi terhadap Suriah dalam beberapa dekade terakhir kian memperburuk situasi Aleppo, walaupun kehancuran totalnya inilah yang turut membantu pelestarian kota tuanya, arsitektur abad pertengahan dan warisan tradisionalnya. Aleppo kini tengah mengalami kebangkitan signifikan dan perlahan kembali menjadi sorotan. Baru-baru ini, Aleppo memenangkan anugerah "Ibukota Kebudayaan Islam 2006", dan menyaksikan gelombang keberhasilan restorasi monumen-monumen berharga miliknya.

Aleppo terletak sekitar 120 kilometer pedalaman Laut Mediterania, di dataran setinggi 380 meter di atas permukaan laut, 45 kilometer sebelah timur pos pemeriksaan perbatasan Suriah-Turki, Bab Al-Hawa. Kota ini dikelilingi lahan pertanian dari utara dan barat, ditanami pohon zaitun dan pistachio. Ke timur, Aleppo mendekati daerah kering Gurun Suriah.

Kota ini awalnya didirikan beberapa kilometer di selatan lokasi kota tua saat ini, di tepi kanan sungai Quweiq yang muncul dari dataran tinggi Aintab di utara dan mengalir melalui Aleppo selatan ke wilayah subur Qinnasrin. Kota tua Aleppo terletak di tepi kiri sungai Quweiq.

Wilayah Aleppo dikelilingi oleh lingkaran delapan bukit yang mengelilingi sebuah pusat bukit terkemuka di mana sebuah benteng—awalnya sebuah kuil yang dibangun pada milenium ke-2 SM—didirikan. Diameter lingkaran tersebut sekitar 10 kilometer. Kota tua ini terkurung dalam sebuah tembok kuno yang terakhir kali dibangun kembali oleh Mamluk. Sejak itu, dinding yang memiliki sembilan pintu gerbang dan dikelilingi parit nan dalam ini, lenyap.

Kota ini berada di bawah kontrol Shalahuddin Al-Ayyubi dan kemudian Dinasti Ayyubiyah sejak 1183. Pada 24 Januari 1260, Aleppo diambil alih oleh bangsa Mongol di bawah pimpinan Hulagu Khan yang bersekutu dengan pengikut ksatria Frank, penguasa Antiokhia Bohemond VI dan ayah mertuanya, Hetoum I—penguasa Armenia.

Pada 20 Oktober 1280, bangsa Mongol merebut kota ini lagi, menjarah pasar dan membakar masjid. Penduduk Muslim melarikan diri ke Damaskus, di mana pemimpin Mamluk, Qalawun mengumpulkan pasukannya. Ketika pasukannya maju, pasukan Mongol kembali mundur, melintasi Sungai Efrat.

Pada pertengahan abad ke-16, Aleppo menggantikan Damaskus sebagai pasar utama barang yang datang ke kawasan Mediterania dari timur. Hal ini tercermin dari fakta bahwa Perusahaan Levant of London—sebuah perusahaan bersama yang didirikan pada 1581 untuk memonopoli perdagangan Inggris dengan Kekaisaran Ottoman—tidak pernah berusaha mendirikan pabrik atau agend di Damaskus, meskipun telah memiliki izin untuk melakukannya. Aleppo menjadi kantor pusat perusahaan tersebut hingga akhir abad 18.

Sebagai dampak perkembangan ekonomi, banyak negara Eropa yang membuka konsulat di Aleppo selama ke-16 dan 17, seperti konsulat Republik Venesia pada 1548, konsulat Prancis 1562, konsulat Inggris 1583 dan konsulat Belanda pada 1613.

Namun kemakmuran Aleppo yang dirasakan pada ke-16 dan 17 mulai memudar karena produksi sutera di Iran menurun dengan jatuhnya dinasti Safawi pada 1722. Pada pertengahan abad, para kafilah tidak lagi membawa sutera dari Iran ke Aleppo, dan produksi lokal sutera Suriah tidak mencukupi permintaan Eropa. Para saudagar Eropa meninggalkan Aleppo dan kota itu pun terjun ke jurang kehancuran ekonomi yang tidak bisa dibangkitkan lagi hingga pertengahan abad ke-19, ketika produksi kapas dan tembakau lokal menjadi komoditas utama yang menarik minat Eropa.

Aleppo adalah sebuah kota perpaduan beragam model arsitektur. Para penyerbu, dari Byzantium, Seljuk, Mamluk hingga Dinasti Utsmani meninggalkan tanda arsitektur mereka di kota ini, yang asal-usulnya bisa ditelusuri lebih dari 2.000 tahun.

Ada berbagai jenis konstruksi abad 13 dan 14 di Aleppo seperti caravanserais, sekolah Al-Qur'an dan hammams (tempat pemandian), bangunan suci Kristen dan Islam di kota tua dan kawasan Jdeydeh.

Kawasan Jdeydeh adalah pusat perumahan prestisius borjuis Aleppine abad 16 dan ke-17 dengan ukiran-ukiran batu yang megah. Arsitektur Baroque dari abad 19—awal abad 20—terdapat di kawasan Azizyeh, misalnya Villa Rose yang terkenal.

Selain itu, di Aleppo juga terdapat beberapa masjid terkenal dan bersejarah, diantaranya Masjid Al-Shuaibiyah yang juga dikenal sebagai Masjid Al-Umari, Al-Tuteh dan Masjid Al-Atras, yang merupakan masjid tertua.

Ada pula Masjid Agung Aleppo atau Jami' Bani Umayyah Al-Kabir yang didirikan pada 715 oleh khalifah Bani Umayyah, Al-Walid I yang diteruskan oleh penggantinya Sulaiman. Dan salah satu masjid yang juga terkenal di Aleppo adalah Masjid Ar-Rahman, dengan arsitektur dan desain yang sangat megah.

Tak sia-sia rasanya melakukan ziarah atau berkunjung ke Aleppo jika ada biaya, waktu dan kesempatan. Kota tua ini adalah salah satu bukti sejarah keemasan Islam pada masa Daulah Umayyah berkuasa.

Sumber : Republika

Al-Mutawakkil Alallah II, Khalifah yang Terakhir

Al-Mutawakkil Alallah II, Abu Al-Izz bernama Abdul Azis bin Ya'kub bin Al-Mutawakkil Alallah. Dia lahir pada 819 H, ibunya bernama Haj Malik, putri seorang tentara. Ayahnya tidak pernah menjadi khalifah.

Al-Mutawakkil II tumbuh dan berkembang secara terhormat. Ia banyak dimintai pendapat dan sangat dicintai masyarakat dan para pembesar negara karena memiliki akhlak yang baik dan mulia. Dia dikenal sebagai khalifah yang rendah hati. Tingkah lakunya tenang dan menyejukkan. Wajahnya selalu ceria ketika berjumpa dengan siapa saja.

Selain itu, Al-Mutawakkil II juga dikenal sebagai sosok yang memiliki wawasan luas, banyak menyibukkan diri dengan ilmu pengetahuan. Dia dinikahkan oleh pamannya, Al-Mustakfi, dengan putrinya. Istrinya melahirkan anak yang saleh.

Tatkala Al-Mustanjid menderita sakit yang berlangsung lama, dia mewasiatkan kekhalifahan kepada Al-Mutawakkil II. Dan pada saat Al-Mustanjid meninggal dunia, Al-Mutawakkil II langsung diangkat sebagai khalifah (1485-1507 M) pada Senin 16 Muharram yang dihadiri oleh sultan, para hakim dan para pembesar.

Awalnya ia ingin menggunakan gelar Al-Musta'in atau Al-Mutawakkil, akhirnya dia memilih Al-Mutawakkil Alallah. Setelah itu dia kembali ke kediamannya dengan diiringi oleh para hakim dan pembesar. Hari itu adalah hari yang sangat bersejarah baginya. Namun pada akhir pemerintahannya, Al-Mutawakkil II kembali ke benteng tempat Al-Mustanjid dulu pernah tinggal.

Pada tahun ini, Sultan Al-Asyraf Qayatabay melakukan perjalanan ke Hijaz untuk menunaikan ibadah haji. Peristiwa ini merupakan peristiwa penting karena lebih dari seratus tahun para sultan tidak pernah melakukan ibadah haji ke Tanah Suci Makkah.

Khalifah Al-Mutawakkil Alallah II wafat pada Rabu akhir Muharram 903 H. Dia mewasiatkan kekhalifahan kepada anaknya, Ya'kub, yang bergelar Al-Mustamsik Billah.

Imam As-Suyuthi dalam kitabnya, Tarikh Al-Khulafa', tidak meneruskan riwayat dua khalifah berikutnya, yakni Khalifah Al-Mustamsik Billah dan Al-Mutawakkil Alallah III. Ia menutup tulisannya dengan Khalifah Al-Mutawakkil Alallah II ini.

Al-Mustamsik Billah

Selanjutnya, kekhalifahan dipegang oleh Khalifah Al-Mustamsik Billah. Joesoef Sou'yb dalam bukunya Sejarah Daulah Abbasiyah III menyebutkan, Khalifah Al-Mustamsik berkuasa selama tiga tahun (1507-1510 M).

Al-Mutawakkil Alallah III

Setelah itu, kekuasaan diambil alih oleh Muhammad Al-Mutawakkil Alallah III. Ia berkuasa dari 1510 M hingga 1517 M. Dia merupakan khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Mesir.

Al-Mutawakkil III didepak sebelum akhir masa pemerintahannya pada 1516 oleh pendahulunya, Al-Mustamsik. Namun kedudukannya segera dipulihkan kembali pada tahun berikutnya.

Pada 1517, Sultan Salim I dari Turki Utsmani berhasil mengalahkan kekhalifahan Mamluk dan menjadikan Mesir bagian dari negaranya. Al-Mutawakkil III dibawa ke Istanbul dan terjadilah timbang resmi jabatan khalifah.

Konon, saat itu juga Al-Mutawakkil III menyerahkan jabatan khalifah dan lambangnya, pedang dan mantel Nabi Muhammad SAW kepada Sultan Salim I. Sejak saat itu, para penguasa Turki Utsmani dipanggil juga dengan sebutan khalifah, yang sebelumnya mereka menamakan diri sebagai Sultan.

Dengan demikian, berakhirlah era kekuasaan Daulah Abbasiyah di Mesir. Tongkat kekhalifahan beralih ke tangan penguasa Turki Utsmani. Sebagian sejarawan menganggap para penguasa di Istanbul ini bukan khalifah tapi kesultanan. Namun tak bisa dihindari, yang berkuasa penuh kala itu adalah kesultanan Turki Utsmani.

Para penguasa Muslim di beberapa wilayah, menyatakan tunduk kepadanya. Oleh sebab itu, tidak salah kalau pemerintahan Turki Utsmani adalah kekhalifahan Islam yang diakui kaum Muslimin secara keseluruhan.

Hal ini berlangsung hingga 3 Maret 1924 Masehi, ketika presiden pertama Turki sekuler, Mustafa Kamal Ataturk,  menghapuskan sistem khilafah dari muka bumi dan menggantinya dengan sistem sekuler hingga kini.

Sumber : Republika

Al-Mustanjid Billah, Ditawan Hingga Wafat

Al-Mustanjid Billah, Abu Al-Mahasin, Yusuf bin Al-Mutawakkil Alallah dilantik sebagai khalifah (1460-1485 M) setelah saudaranya, Al-Qaim Biamrillah, wafat. Yang menjadi sultan saat itu adalah Al-Asyraf Inal.

Inal meninggal pada 865 H. Sebagai penggantinya naiklah anaknya, Ahmad, dengan gelar Al-Muayyid. Namun Khasyqadam merebut kesultanan dari tangan Al-Muayyid.

Al-Muayyid ditangkap pada Ramadhan di tahun pengangkatannya sebagai sultan. Khalifah Al-Mustanjid kemudian mengangkat Khasyqadam sebagai sultan baru dan memberinya gelar Azh-Zhahir. Dia menjadi sultan hingga akhir hayatnya, yaitu pada Rabiul Awal 872 H.

Setelah itu diangkatlah Balbay sebagai sultan dengan gelar Azh-Zhahir juga. Namun dua bulan setelah duduk di kursi kesultanan, Balbay didepak oleh para tentara. Sebagai penggantinya, khalifah menunjuk Tamrigh, juga dengan gelar Azh-Zhahir. Tamrigh juga diturunkan secara paksa dari kursi kesultanan.

Khalifah akhirnya mengangkat Qayatabay sebagai sultan dengan gelar Al-Asyraf. Kesultanan menjadi stabil di dalam genggamannya. Qayatabay dikenal sebagai sultan yang pemberani dan kuat. Satu hal yang belum pernah terjadi sejak masa kesultanan An-Nashir Muhammad bin Qalawun. Buktinya adalah ia pernah mengadakan perjalanan dari Mesir ke Furat dan hanya ditemani oleh sekelompok kecil tentara tanpa pengawalan ketat.

Di antara catatan emas yang pernah dilakukan khalifah adalah dia tidak pernah mengangkat seroang pun di Mesir untuk menduduki posisi-posisi yang sifatnya keagamaan, seperti hakim, guru dan pengajar di masjid kecuali orang-orang yang diangkat tadi pasti akan melakukan perbaikan-perbaikan yang sangat penting setelah sebelumnya kacau-balau. Al-Mustanjid tidak pernah mengangkat seorang hakim atau syekh tertentu atas dasar uang dan gaji.

Di awal pengangkatannya sebagai sultan, Azh-Zhahir langsung didatangi oleh penguasa Syam, Hatim. Ini terjadi karena adanya kesepakatan antara Hatim dengan tentara yang ada di kalangan sultan. Setelah mendengar kedatangan Hatim, Azh-Zhahir meminta khalifah, para hakim yang empat dan tentara untuk datang ke benteng.

Ketika semua yang datang meninggalkan benteng, Azh-Zhahir melarang Khalifah Al-Mustanjid kembali ke kediamannya. Al-Mustanjid tetap tinggal di tempat itu hingga meninggal dunia pada Sabtu 14 Muharram 888 H, setelah sebelumnya menderita sakit selama dua tahun. Jenazahnya dishalatkan di benteng. Setelah itu dibawa ke makam para khalifah. Saat meninggalnya, Al-Mustanjid berusia 90 tahun atau lebih.
Sumber : Republika

Al-Qaim Biamrillah, Pemberani Namun Kejam

Al-Qaim Biamrillah Abu Al-Baqa’, nama aslinya Hamzah bin Al-Mutawakkil. Ia dilantik sebagai khalifah (1455-1460 M) sepeninggal saudaranya. Al-Mustakfi Billah tidak memberikan wasiat kepadanya dan tidak pula kepada yang lainnya.

Dia dikenal sebagai sosok yang sangat pemberani dan keras, namun tidak mampu menegakkan kekhilafahan kecuali beberapa sisinya saja. Dia terkenal sebagai seorang yang berwatak kejam, satu sifat yang sangat berbeda dengan saudara-saudaranya.

Pada masa pemerintahan Al-Qaim ini, Sultan Malik Azh-Zhahir Jaqmaq meninggal dunia pada awal 857 H. Setelah itu dinobatkanlah anaknya, Utsman, dan diberi gelar Al-Manshur. Namun kekuasaannya berumur pendek. Dia menjabat sebagai sultan hanya sebulan setengah.

Hal ini disebabkan karena Inal merebut kekuasaan dari Al-Manshur yang kemudian menangkapnya. Khalifah mengangkat Inal sebagai sultan pada Rabiul Awal. Dia bergelar Al-Asyraf. Setelah itu terjadi perseteruan sengit antara Khalifah Al-Qaim dan Sultan Al-Asyraf. Pasalnya, keduanya berbeda pendapat tentang pengiriman tentara.

Akhirnya khalifah diturunkan dari jabatannya pada Jumadil Akhir 859 H. Dia kemudian diungsikan ke Iskandariyah dan dipenjarakan di sana hingga wafat pada 863 H. Dia dimakamkan berdekatan dengan kuburan saudaranya, Al-Musta’in.

Kedua kakak beradik ini adalah dua khalifah yang sama-sama dicopot dari kursi kekhilafahan. Keduanya juga sama-sama dipenjarakan di Iskandariyah (Alexandria) dan akhirnya sama-sama dimakamkan di tempat itu.

Sumber : Republika

Al-Mustakfi Billah, Khalifah yang Saleh

Al-Mustakfi Billah, Abu Ar-Rabi’ Sulaiman bin Al-Mutawakkil. Dia dibaiat sebagai khalifah (1446-1455 M) berdasarkan wasiat saudara kandungnya, Al-Mu’tadhid Billah. Ayahnya menuliskan teks surat pengangkatan dirinya sebagai berikut:

“Ini surat kesaksian yang saya tulis untuk jiwa bersih yang Allah jaga dan Allah lindungi dari berbagai kotoran. Pemuka dan junjungan kami, jiwa yang bersih dan suci, yang mengalir dalam dirinya sifat kepemimpinan dan kemuliaan, serta darah Bani Abbas dan kekerabatan dengan Rasulullah. Amirul Mukminin Al-Mu’tadhid Billah Abu Al-Fath Dawud, yang Allah kokohkan agama dengannya dia telah mewasiatkan agar khilafah ini dipegang oleh saudara kandungnya, junjungan kami Abu Ar-Rabi’ Sulaiman Al-Mustakfi Billah. Semoga Allah memberikan keagungan dalam dirinya dalam mengurusi kekhilafahan yang diagungkan ini.”

Al-Mu’tadhid menjadikan saudaranya sebagai khalifah setelah dirinya menjadi imam kaum Muslimin. Ini sebuah wasiat yang sah menurut syariat, yang resmi dan diridhai sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban dirinya demi mewujudkan kemaslahatan orang-orang yang mentauhidkan Allah. Juga sebagai usaha meneladani sunnah para Khulafaur Rasyidin dan para imam yang mendapat petunjuk.

Ini semua dilakukan karena Al-Mu’tadhid mengetahui tentang kebaikan agama, keluhuran akhlak, dan keadilannya. Al-Mustakfi memiliki kemampuan yang memadai untuk memangku jabatan ini. Al-Mu’tadhid merasa yakin, orang yang dia pilih adalah orang yang paling takwa di sisi Allah dan paling berhak menerimanya.

Menurut Al-Mu’tadhid, jika tidak menentukan pilihan, maka hal itu akan banyak merepotkan ahlul halli wal aqdi dalam menetapkan imam setelah dirinya. Dia segera berwasiat tentang khilafah ini agar mereka terbebas dari beban, dan perkara ini sampai kepada orang yang benar-benar berhak.

Khalifah Al-Mustakfi adalah seorang khalifah Bani Abbas yang memiliki nilai-nilai kesalehan. Dia sangat taat beragama dan dikenal sebagai ahli ibadah. Gemar membaca ayat Allah, senantiasa mengerjakan shalat, serta sering bermunajat kepada Allah. “Saya tidak pernah melihat Sulaiman sejak masa kecilnya melakukan dosa-dosa besar,” kata Al-Mu’tadhid tentang perilaku saudaranya itu.

Menurut Imam As-Suyuthi dalam Tarikh Al-Khulafa’, ayahnya memiliki posisi terhormat, pandangannya dalam dan sangat dihormati. Mereka besar di lingkungan dan di tengah kemuliaan akhlak dan perilaku. Keluarganya adalah keluarga yang baik dalam ibadah dan muamalah. “Saya tidak pernah melihat sebuah keluarga setelah keluarga Umar bin Abdul Azis yang memiliki nilai-nilai ibadah yang demikian kokoh seperti keluarga khalifah ini,” tulis Suyuthi.

Al-Mustakfi wafat pada Jumat akhir Dzulhijjah 854 H dalam usia 63 tahun. Sedangkan ayah Imam As-Suyuthi, meninggal 40 hari setelah meninggalnya Khalifah Al-Mustakfi. Ketika dimakamkan, Sultan Azh-Zhahir (Jaqmaq) mengiringinya ke pemakaman dan membawa keranda jenazah Khalifah.


Sumber : Republika

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More