Sunday, May 1, 2011

Daulah Abbasiyah: Al-Mutawakkil, Khalifah Pembela Ahlus Sunnah

Nama lengkap Khalifah Al-Mutawakkil (847-861 M) adalah Al-Mutawakkil Alallah, Ja'far, Abu Al-Fadhl bin Mu'tashim bin Ar-Rasyid. Ibunya seorang mantan budak bernama Syuja'. Al-Mutawakkil lahir pada 205 H. Riwayat lain menyatakan pada 207 H. Ia dilantik sebagai khalifah pada 24 Dzulhijjah 232 H setelah wafatnya Al-Watsiq.

Berbeda dengn para pendahulunya yang cenderung kepada paham Muktazilah, Khalifah Al-Mutawakkil lebih cenderung kepada Ahlus Sunnah. Hal ini dilakukannya dengan cara banyak membantu mereka yang memiliki akidah dan pandangan Ahlus Sunnah. Mencabut aturan yang mengharuskan setiap orang untuk mengatakan bahwa Al-Qur'an itu makhluk. Perintah ini disebarkan ke seluruh wilayah kekuasaannya pada 234 H.

Khalifah Al-Mutawakkil hidup sezaman dengan Abu Tsaur, Imam Ahmad bin Hanbal, Ibrahim bin Al-Munzhir Al-Hizami, Ishaq Al-Muhsil An-Nadim, Abdul Malik bin Habib (salah seorang imam dari kalangan mazhab Maliki), Abdul Azis bin Yahya Al-Ghul (salah seorang murid terbesar Imam Syafi'i), Abu Utsman bin Manzini (pakar ilmu nahwu), dan Ibnu Kullab, seorang tokoh ilmu kalam.

Khalifah Al-Mutawakkil sangat menghormati para ulama Ahlus Sunnah. Ia pernah mengundang mereka menghadiri pengajian yang dihadiri sekitar 30.000 orang. Dalam acara tersebut, ada yang memberikan pujian kepada Khalifah Al-Mutawakkil sampai melewati batas dengan berujar, "Khalifah yang benar-benar khalifah itu ada tiga; Abu Bakar pada saat memerangi orang-orang yang murtad dari ajaran Islam, Umar bin Abdul Azis saat membebaskan manusia dari kezaliman, dan Al-Mutawakkil yang kembali menghidupkan sunnah Rasulullah serta mengubur orang-orang Jahmiyah."

Pada 235 H, Al-Mutawakkil mewajibkan kepada setiap orang Kristen untuk memakai gelang sebagai pengenal bahwa mereka orang Kristen. Pada 237 H, dia memerintahkan bawahannya di Mesir untuk mengganti Abu Bakar bin Al-Laits, seorang Hakim Agung Mesir karena keaktifannya sebagai salah seorang pemimpin gerakan Jahmiyah yang sesat, kemudian diganti dengan Al-Harits bin Miskin, salah seorang murid kenamaan Imam Malik.

Pada 243 H, Khalifah Al-Mutawakkil datang ke Damaskus. Ia sangat tertarik dengan pemandangan kota itu sehingga memerintahkan orang-orangnya untuk membangun sebuah istana di Dariya. Sang Khalifah menetap di Damaskus selama dua sampai tiga bulan, untuk seterusnya kembali ke Irak.

Al-Mutawakkil juga dikenal sebagai seorang yang sangat pemurah dan banyak dipuji karena kemurahan hatinya dalam memberikan bantuan berupa uang dan harta benda. Tentang hal ini, Marwan bin Abu Al-Janub pernah berkata dalam syairnya, "Tahanlah uluran tanganmu dariku dan jangan tambah lagi, karena aku khawatir engkau bersikap sombong dan melakukan kezaliman."

Al-Mutawakkil berkata, "Aku tidak akan menahan tanganku untuk memberi hingga kamu tenggelam dalam kedermawananku."

Khalifah Al-Mutawakkil sangat mencintai istrinya yang bernama Qabihah yang tak lain adalah ibu dari anaknya, Al-Mu'taz. Sebagaimana biasa, sudah menjadi tradisi dalam Bani Abbasiyah untuk mempersiapkan pengganti mereka sebagai khalifah, Al-Mutawakkil melantik anaknya, Al-Muntashir kemudian Al-Mu'taz lalu Al-Muayyad menjadi khalifah setelah ia wafat kelak. Namun kemudian Al-Mutawakkil berubah pikiran dan lebih mengutamakan Al-Mu'taz karena kecintaannya kepada ibunya.

Ia meminta Al-Muntashir untuk menarik dirinya dan menunggu giliran setelah Al-Mu'taz. Namun Al-Muntashir tidak bisa menerima keinginan ayahnya. Keputusan itu pun ditentang majelis yang dibentuk Al-Mutawakkil sendiri. Al-Mutawakkil langsung menurunkan posisi Al-Muntashir dengan paksa.

Peristiwa ini bersamaan dengan ketidaksenangan orang-orang Turki terhadap Al-Mutawakkil karena beberapa masalah antara mereka. Inilah yang memicu kesepakatan orang-orang Turki dan Al-Munthasir untuk membunuh sang khalifah, ayahnya sendiri.

Suatu malam masuklah lima orang Turki ke tengah-tengah tempat Al-Mutawakkil bersenang-senang, lalu mereka membunuhnya. Turut menjadi korban juga seorang menterinya yang bernama Al-Fath bin Khaqan. Peristiwa tragis ini terjadi pada 5 Syawwal 247 H dan merupakan episode terakhir dari hidup salah seorang khalifah Bani Abbasiyah yang membebaskan negerinya dari pengaruh kaum Muktazilah, Jahmiyah, dan beberapa aliran sesat lainnya, serta menghidupkan kemurnian Al-Qur'an dan sunnah Nabi Muhammad Saw.

Sumber : republika

0 comments:

Post a Comment

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More