Monday, May 30, 2011

Al-Mu'tadhid Billah, Abu Al-Fath, Dekat dengan Ulama

Al-Mu'tadhid Billah, Abu Al-Fath. Nama aslinya Dawud bin Al-Mutawakkil. Ibunya seorang mantan budak asal Turki bernama Kazal. Dia dilantik sebagai khalifah setelah saudaranya, Al-Musta'in, meninggal pada 815 H.

Sedangkan yang menjadi sultan saat itu adalah Al-Muayyid. Dia menjadi sultan hingga meninggal pada Muharram 824 H. Setelah meninggal, anaknya yang bernama Ahmad diangkat menjadi sultan dengan gelar Al-Muzhaffar. Dan sebagai orang kepercayaannya diangkatlah Thatar. Namun Thatar menangkap Al-Muzhaffar pada bulan Sya'ban.

Akhirnya Khalifah Al-Mu'tadhid mengangkat Thatar sebagai sultan dan bergelar Azh-Zhahir. Thatar meninggal pada Dzulhijjah tahun itu juga. Anaknya yang bernama Muhammad naik menjadi sultan dan bergelar Ash-Shalih. Lalu dia mengangkat orang kepercayaannya, yaitu Barsabay. Barsabay melakukan pemberontakan terhadap Ash-Shalih dan mencopot kedudukannya sebagai sultan.

Khalifah mengangkat Barsabay sebagai sultan pada Rabiul Awal 825 H. Dia menjadi sultan hingga meninggalnya pada Dzulhijjah 841 H. Setelah itu naiklah anaknya, Yusuf, ke kursi kesultanan. Yusuf bergelar Al-Azis. Jaqmaq diangkat sebagai orang kepercayaannya.

Namun sejarah berulang, Jaqmaq memberontak dan menangkap Al-Azis pada Rabiul Awal 842 H. Jaqmaq diangkat sebagai sultan oleh Khalifah Al-Mu'tadhid dengan gelar Azh-Zhahir. Pada masa kesultanan Jaqmaq inilah, Khalifah Al-Mu'tadhid meninggal dunia.

Al-Mu'tadhid adalah khalifah yang hebat, memiliki perilaku yang baik dan cerdik. Ia selalu bergabung dengan ulama dan orang-orang yang memiliki sifat-sifat utama, serta mengambil manfaat dari ilmu mereka. Selain itu, dia juga dikenal sebagai seorang yang dermawan dan sangat toleran.

Dia meninggal pada hari Ahad bulan Rabiul Awal 845 H. Saat meninggal, usianya mendekati tujuh puluh tahun. Ibnu Hajar berkata, "Saya mendengar dari anak saudara perempuannya bahwa dia meninggal dalam usia 73 tahun."

sumber : republika

Al-Musta'in Billah, Khalifah Sekaligus Sultan

Al-Musta'in Billah, Abu Al-Fadhl bernama Al-Abbas bin Al-Mutawakkil. Ibunya seorang mantan budak berasal dari Turki bernama Bay Khatun. Dia dilantik sebagai khalifah pada Rajab 808 H (1409-1416 M). Sedangkan yang menjabat sebagai sultan waktu itu adalah Al-Malik An-Nashir Faraj.

Tatkala An-Nashir berangkat untuk membunuh Syekh Al-Mahmudi dan ternyata dia kalah dan terbunuh, maka dilantiklah khalifah sebagai sultan. Hal ini tidak dilakukan kecuali setelah melalui proses panjang dan perdebatan panas serta perjanjian dari para pejabat sebelum dilakukan pengambilan sumpah.

Maka kembalilah khalifah ke Mesir, sedangkan para pejabat setia mendampinginya. Dialah yang mengangkat dan menurunkan pejabat. Namanya dicantumkan pada mata uang. Dia tidak mengubah gelar yang dipakainya. Syekhul Islam Ibnu Hajar menulis satu sajak panjang untuk melukiskan masalah ini.

Tatkala Al-Musta'in tiba di Mesir, ia tinggal di benteng, sedangkan Syekh Al-Mahmudi tinggal di Ishthabla. Al-Musta'in menyerahkan masalah kerajaan dan kesultanan di Mesir kepada Al-Mahmudi. Ia diberi gelar Nidzam Al-Mulk. Dengan demikian, para pejabat yang sudah melakukan tugas-tugas kenegaraan dengan khalifah juga akan pergi ke Ishthabla untuk menemui Syekh Al-Mahmudi. Ternyata sang syekh tidak suka dengan perlakuan seperti ini.

Setelah itu datanglah Dawud, saudara Al-Musta'in, menemui Khalifah dan mengajarkan kepadanya bagaimana membuat surat dan tanda tangan. Namun Dawud melakukannya dengan tindakan yang kelewat batas. Dia meminta Khalifah agar tidak mengeluarkan surat edaran apa pun sebelum memperlihatkan kepada dirinya. Khalifah merasa tersinggung dengan tindakan tersebut.

Pada bulan Sya'ban, Syekh Al-Mahmudi meminta Khalifah untuk menyerahkan kesultanan kepadanya sebagaimana biasanya. Khalifah memenuhi permintaan tersebut, namun dengan syarat ia harus bisa tinggal di rumahnya, bukan di benteng. Syekh Al-Mahmudi setuju dengan syarat yang diminta khalifah. Ia pun menduduki kursi kesultanan. Dia menggelari diri dengan sebutan Al-Muayyid, dan secara terang-terangan menyatakan bahwa khalifah dicopot dari kekuasaannya.

Al-Muayyid membaiat Dawud sebagai khalifah, sedangkan Al-Musta'in dipindahkan dari istana ke sebuah rumah di benteng. Khalifah tidak sendirian, ia ditemani oleh seluruh keluarganya.

Al-Muayyid melarang khalifah untuk bertemu dengan orang lain. Apa yang dilakukan Al-Muayyid ini sampai ke telinga Naurus, penguasa wilayah Syam. Naurus segera mengumpulkan para hakim dan ulama serta meminta fatwa atas apa yang dilakukan Al-Muayyid dengan mencopot khalifah dan mengurungnya di suatu tempat.

Mereka mengeluarkan fatwa bahwa apa yang dilakukan Al-Muayyid tidak sah dan bertentangan dengan Islam. Yang hadir pun sepakat untuk menyatakan perang kepada Al-Muayyid. Tantangan ini disambut oleh Al-Muayyid. Peristiwa ini terjadi pada 815 H.

Sedangkan Al-Musta'in dipindahkan ke Iskandariyah. Dia dipenjarakan di tempat itu dan baru dikeluarkan pada saat Thatar menjadi sultan, dan ia pun diizinkan datang ke Kairo. Namun Al-Musta'in memilih tetap tinggal di Iskandariyah karena menganggap tempat itu cocok untuknya.

Al-Mu'tashim kemudian berniaga dan memperoleh keuntungan dari usahanya. Dia tetap tinggal di Iskandariyah hingga meninggal dunia.

sumber : republika

Al-Mutawakkil Alallah, Sesepuh Para Khalifah

Dia menjadi khalifah berdasarkan wasiat ayahnya, dan dilantik pada Jumadil Ula 763 H (1364-1409 M). Dia berkuasa sebagai khalifah dalam waktu yang sangat lama, empat puluh lima tahun, dan memiliki banyak anak. Lima di antara anaknya menjadi khalifah; Al-Musta’in Al-Abbas, Al-Mu’tadhid Dawud, Al-Mustakfi Sulaiman, Al-Qaim Hamzah dan Al-Mustanjid Yusuf.

Beberapa peristiwa penting yang terjadi pada masa pemerintahannya antara lain pada 764 H, Sultan Muhammad Al-Manshur dicopot. Dan sebagai penggantinya duduklah Sya’ban bin Husain An-Nashir Muhammad bin Qalawun yang kemudian memakai gelar Al-Asyraf.

Pada 773 H, Khalifah Al-Mutawakkil memerintahkan kepada para syarif (orang-orang mulia atau keturunan nabi) untuk memakai tanda hijau di sorban yang mereka pakai dengan tujuan agar berbeda dengan sultan. Ini merupakan inovasi yang dia lakukan untuk pertama kali.

Pada tahun ini pula muncul manusia terkeji dalam sejarah manusia yang bernama Timur Leng (Tamerlane) yang memporak-porandakan negeri, dan membantai manusia. Dia terus melakukan kerusakan di muka bumi hingga mati dalam laknat Allah pada 807 H. Timur Leng adalah petani biasa. Sejak masa mudanya dia tumbuh sebagai pencuri dan perampok jalanan. Setelah itu dia bergabung dengan orang-orang yang bertugas memberi makan kuda sultan. Ia kemudian mengokohkan posisinya setelah kematian sultan.

Pada 778 H, Sultan Al-Asyraf meninggal karena dibunuh, kemudian digantikan anaknya yang bernama Ali dan bergelar Al-Manshur.

Pada Rabiul Awal 779 H, terjadi peristiwa yang sangat menggemparkan, yaitu saat Aynabaik Al-Badri Zakaria, pemimpin laskar, meminta Umar bin Ibrahim bin Al-Mustamsik Billah bin Al-Hakim untuk menjadi khalifah. Umar bin Ibrahim pun menobatkan dirinya sebagai khalifah tanpa proses baiat dan tanpa kesepakatan kaum Muslimin. Dia diberi gelar Al-Mu’tashim Billah. Setelah itu dia memerintahkan Khalifah Al-Mutawakkil agar diasingkan ke Qush karena ia menyimpan dendam atas terbunuhnya Asyraf.

Tak lama kemudian, Khalifah Al-Mutawakkil keluar dari pengasingan dan kembali memangku jabatan khalifah. Al-Mu’tashim pun dicopot dari jabatannya. Dengan demikian, ia menduduki jabatan khalifah hanya dalam waktu 15 hari saja.

Pada Shafar 783 H, Sultan Al-Manshur meninggal dunia. Saudaranya yang bernama Haji bin Asyraf menggantikannya dengan gelar Ash-Shalih. Setahun kemudian, Ash-Shalih dicopot dari jabatannya, dan sebagai penggantinya adalah Barquq dengan gelar Az-Zhahir. Dia orang pertama yang menjadi sultan dari kalangan Jarasikah.

Pada Rajab 785 H, Barquq atawa Az-Zhahir menangkap Khalifah Al-Mutawakkil dan memenjarakannya di benteng Jabal. Untuk menduduki kursi khilafah yang kosong, maka diangkatlah Muhammad bin Ibrahim bin Al-Mustamsik bin Al-Hakim dengan gelar Al-Watsiq Billah. Sejak itulah Al-Watsiq menjadi khalifah hingga meninggalnya pada Rabu 17 Syawal 788 H.

Para pembesar melobi Barquq untuk segera mengembalikan Khalifah Al-Mutawakkil pada posisinya. Namun dia menolak usulan itu. Dia bahkan memanggil saudara Muhammad (Al-Watsiq Billah) bernama Zakaria bin Ibrahim bin Al-Mustamsik bin Al-Hakim, yang saat itu menjabat sebagai gubernur di Yasirah. Dia dilantik dan diberi gelarAl-Mu’tashim Billah. Masa pemerintahannya berlangsung hingga 791 H.

Barquq merasa sangat menyesal dengan apa yang dilakukannya pada Al-Mutawakkil. Oleh sebab itu, ia segera mengeluarkan Al-Mutawakkil dari penjara dan mengembalikan kedudukannya sebagai khalifah. Sedangkan Zakaria (Al-Mu’tashim) dicopot dari jabatannya. Zakaria meninggal di rumahnya, sementara Al-Mutawakkil terus menjadi khalifah hingga ia wafat.

sumber : republika

Al-Mu’tadhid Billah I, Khalifah Baik Budi

Namanya Al-Mu’tadhid Billah, Abu Al-Fath, Abu Bakar bin Al-Mustakfi Billah. Dia dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah Mesir ke-6 (1354-1364 M) setelah saudaranya meninggal pada 753 H, berdasarkan wasiat saudaranya.

Dia dikenal sebagai khalifah yang baik budi, rendah hati dan sangat mencintai orang-orang berilmu. Dia meninggal pada 763 H.

Pada 755 H, Sultan Al-Malik Ash-Shalih dicopot dan Hasan An-Nashir dikembalikan pada posisinya semula. Setahun setelah itu, Khalifah memberikan perintah pembuatan uang baru yang sama dengan dinar dalam bentuk dan beratnya. Uang baru ini setiap dua puluh keping harganya sama dengan satu dirham.

Pada 766 H, Hasan An-Nashir terbunuh dan sebagai penggantinya naiklah keponakannya yang bernama Muhammad bin Al-Muzhaffar yang diberi gelar Al-Manshur.

Ada beberapa tokoh yang meninggal pada masa pemerintahan Al-Mu’tadhid Billah I, diantaranya Syekh Taqiyuddin As-Subki, As-Samin penulis kitab Al-I’raab, Al-Qawam Al-Itqani, Al-Baha’ bin Aqil, Ash-Shalah Al-Alai, Al-Jamal bin Hisyam, Al-Hafizh Mughlathai, Abu Umamah bin An-Niqasy, dan lainnya.

Sumber : republika

Al-Hakim Biarillah II, Pewaris yang Sah

Nama aslinya Ahmad bin Al-Mustakfi, Abul Abbas. Ketika ayahnya, Al-Mustakfi wafat di Qush, dia dinyatakan sebagai putra mahkota. Namun Sultan Malik An-Nashir lebih mengutamakan anak pamannya yang bernama Ibrahim, karena dia sendiri pernah terlibat konflik dengan Al-Mustakfi.

Padahal perilaku Ibrahim amat buruk. Hakim Agung Izzuddin telah berusaha sekuat tenaga untuk memalingkan sultan dari Ibrahim. Namun sang sultan tak mau peduli dengan semua usahanya. Menjelang kematiannya, Sultan Malik menyuruh para pejabatnya untuk mengembalikan hak kekhilafahan kepada Ahmad, putra Al-Mustakfi.

Tatkala Al-Manshur Abu Bakar bin An-Nashir menjadi sultan, dia mengadakan rapat dengan seluruh pembesar negara. Saat itu dia menghadirkan Ibrahim, Ahmad dan Hakim Agung. Dia bertanya kepada semua yang hadir, "Siapakah yang berhak menjadi khalifah secara sah?"

Ibnu Jamaah berkata, "Sungguh Khalifah Al-Mustakfi yang meninggal dunia di Qush telah mewasiatkan kepada anaknya, Ahmad, agar diangkat sebagai khalifah. Apa yang saya katakan ini disaksikan 40 orang yang berasal dari Qush. Saya menganggap apa yang dikatakan mereka itu benar setelah saya mengecek pada seorang wakil saya yang berada di Qush."

Saat itu juga Sultan Al-Manshur mencopot Ibrahim dari kursi khalifah dan membaiat Ahmad. Setelah sultan membaiat, kemudian para hakim ikut membaiat. Ahmad kemudian diberi gelar Al-Hakim Biamrillah (1343-1354 M), gelar yang pernah disandang kakeknya.

Ibnu Fadhl dalam kitabnya, Al-Masalik, mengatakan, Al-Hakim adalah imam dan pemimpin di masa kami. Dia orang terdepan di kota kami. Dia mampu meredam dendam, dan tenggelam dalam luapan keindahan. Semua perkara kembali pada jalurnya. Dia bangkitkan simbol-simbol khilafah dan tidak ada lagi orang yang mampu menentangnya. Dia menempuh jalan para pendahulunya yang baik dan selama ini terkubur. Dia mampu mengembalikan kesatuan Bani Abbasiyah yang selama ini tercabik-cabik.

Ibnu Fadhl melanjutkan, semua orang yang hadir dalam pembaiatan itu sepakat pada satu kata setelah meminta petunjuk Allah dan diambillah sumpahnya. Khalifah Al-Hakim Biamrillah II kini terikat janji. Lalu dia tawarkan amanah itu kepada setiap kelompok hingga semua yang ada di tempat itu mendapatkan bagian amanah tersebut.

Sedangkan Ibnu Hajar dalam Ad-Durr Al-Mastur mengatakan, awalnya dia bergelar Al-Mustanshir kemudian dia bergelar Al-Hakim. Beberapa peristiwa penting yang terjadi di zamannya adalah pencopotan Sultan Al-Manshur karena kerusakan moral dan akhlaknya, serta kebiasaannya yang meminum khamr. Bahkan disebutkan, Al-Manshur bersetubuh dengan istri-istri ayahnya.

"Dia diasingkan ke Qush dan dibunuh di tempat itu. Ini merupakan balasan atas apa yang pernah dilakukan ayahnya, Sultan Malik, terhadap khalifah. Demikianlah, Allah selalu memperlakukan orang-orang yang zalim, terutama kezaliman yang dilakukan terhadap Bani Abbas," tulis Ibnu Hajar.

Setelah itu, saudaranya yang bernama Al-Malik Al-Asyraf Kajik menggantikan Sultan Al-Manshur, namun tak sampai setahun dia pun dicopot dan setelah itu digantikan lagi oleh saudaranya, Ahmad, dengan gelar An-Nashir. Antara khalifah dan dirinya dilakukan saling baiat yang disaksikan oleh Syekh Taqiyuddin As-Subki, salah seorang hakim di Syam.

Pada 743 H, Ahmad An-Nashir juga dicopot dan digantikan oleh saudaranya yang bernama Ismail dan bergelar Ash-Shalih. Pada 746 H, Ash-Shalih meninggal dunia. Kemudian khalifah mengangkat saudaranya yang bernama Sya'ban sebagai penggantinya. Sya'ban bergelar Al-Kamil.

Pada 747 H, Al-Kamil terbunuh lalu digantikan saudaranya, Amir Haj dengan gelar Al-Muzhaffar. Setahun kemudian Al-Muzhaffar dicopot dan digantikan saudaranya Hasan dengan gelar An-Nashir.

Pada 750 H, Hasan An-Nashir dicopot dari kursi kesultanan yang kemudian diganti oleh saudaranya yang bernama Shalih dan memakai gelar Al-Malik Al-Shalih. Dia orang kedelapan dari keturunan An-Nashir bin Muhammad bin Qalawun yang menjadi sultan.

sumber : republika

Al-Watsiq Billah I, Tiada Doa Baginya

Tatkala Khalifah Al-Mustakfi Billah I meninggal di Qhus, dia mengangkat anaknya, Ahmad menjadi khalifah. Namun Sultan Malik An-Nashir memandang sebelah mata keputusan khalifah. Akhirnya dibaiatlah Ibrahim sebagai khalifah dengan gelar Al-Watsiq Billah I (1334-1343 M).

Keputusan ini disesali oleh sultan saat ajalnya menjelang. Akhirnya dipecatlah Ibrahim dari kedudukannya dan diangkatlah Ahmad sebagai khalifah yang kemudian bergelar Al-Hakim. Peristiwa ini terjadi pada Muharram 742 H.

Ibnu Hajar mengatakan, orang-orang menyatakan protes keras kepada sultan tetang diangkatnya Ibrahim sebagai khalifah, namun sultan tidak memerhatikan protes mereka hingga akhirnya orang-orang membaiatnya secara terpaksa. Rakyat memberinya gelar Al-Musta'thi Billah.

Ibnu Fadhlullah menambahkan dalam kitabnya, Al-Masalik, tentang biografi Al-Watsiq Billah ini, kakeknya mengangkat Ibrahim sebagai putra mahkota dengan perkiraan dia mampu mengemban amanah khilafah atau mampu mengubah dirinya menjadi seorang yang baik. Namun ternyata orang ini tidak tumbuh kecuali dalam foya-foya. Perilakunya jauh dari keshalihan. Dia tidak mampu membedakan antara yang baik dan buruk. Ia menghancurkan nama baik dan kepribadiannya.

Saat Al-Mustakfi akan meninggal, sedangkan Sultan Malik masih berada di puncak kemarahannya, Al-Mustakfi meminta kepada sultan agar Al-Watsiq yang bermoral buruk ini diangkat sebagai khalifah. Padahal dialah yang memfitnah pamannya (Al-Mustakfi) sehingga terjadilah konflik antara Sultan Malik dan Al-Mustakfi.

Dia datang menemui sultan dengan membawa surat wasiat yang pernah ditulis kakeknya, Al-Hakim. Sultan merasa berkewajiban untuk mengangkatnya sebagai khalifah karena adanya ketidakjelasan tentang surat, hingga khilafah kini berada di tangannya. Padahal surat wasiat itu sebenarnya telah dicabut oleh Al-Hakim.

Hakim Agung Abu Umar bin Jamaah berusaha mendekati sultan dan memintanya dalam khutbah tidak diucapkan doa untuk Al-Watsiq, namun sultan tidak menuruti permintaannya. Akhirnya diputuskanlah agar doa dalam khutbah tidak diucapkan untuk keduanya, baik Ahmad yang bergelar Al-Hakim maupun Ibrahim yang bergelar Al-Watsiq. Doa khutbah cukup untuk sultan saja.

Setelah kematian Al-Mustakfi, tidak ada lagi doa di mimbar-mimbar dan di mihrab-mihrab. Kematiannya seakan-akan menandai berakhirnya masa pemerintahan Bani Abbas di Mesir. Kondisi ini berlangsung lama hingga menjelang wafatnya sultan.

Saat itulah sultan berwasiat agar semuanya dikembalikan kepada yang berhak dan ia setuju dengan apa yang diputuskan Al-Mustakfi tentang pengangkatan anaknya, Ahmad. Saat itulah Sultan Malik berkata, "Kini, jelas sudah kebenaran!"

sumber : republika

Al-Mustakfi Billah I, Khalifah Jago Memanah

Dia dilahirkan pada pertengahan Muharram 684 H dan dilantik sebagai khalifah pada Jumadil Ula 701 H (1302-1334 M) berdasarkan wasiat ayahnya. Kabar gembira tentang diangkatnya sebagai khalifah langsung tersebar ke seluruh pelosok wilayah Islam.

Pada 702 H, pasukan Tartar menyerang Syam. Sultan Malik An-Nashir Muhammad bin Qalawun yang mendengar penyerangan ini keluar menyongsong mereka bersama Khalifah Al-Mustakfi Billah I. Kemenangan berada di pihak kaum Muslimin. Orang-orang Tartar terbunuh dalam jumlah yang besar, sedangkan sisanya melarikan diri.

Pada 706 H, Sultan Malik An-Nashir bermaksud berangkat menunaikan ibadah haji. Dia berangkat dari Mesir. Beberapa orang pembesar keluar bersamanya untuk mengantarkannya, namun sultan menolak. Tatkala sampai di Karak, dibentangkan untuknya jembatan penyeberangan.

Ketika berada di tengah jembatan, ternyata jembatan buatan itu runtuh. Dia dan orang-orang yang berada di depannya selamat, karena kuda yang dia tumpangi dapat melompat tinggi. Sedangkan lima puluh yang berada di belakangnya berjatuhan. Empat diantaranya meninggal, sedangkan sebagian besar pasukannya jatuh ke jurang.

Setelah itu sultan menetap di Karak. Dia lalu menulis surat ke Mesir yang mengabarkan bahwa secara sukarela dia mengundurkan diri dari kesultanan. Hakim di Mesir menyetujui keinginannya lalu mengabarkan pengunduran diri sultan kepada hakim di Damaskus. Barulah setelah itu diangkat Ruknuddin Baybars Al-Jasyangkir sebagai sultan pada 20 Syawwal. Dia bergelar Al-Malik Al-Muzhaffar.

Pada Rajab 709 H, Sultan Malik An-Nashir kembali ke Mesir dan meminta agar kekuasaan yang dulu pernah dia pegang dikembalikan lagi kepadanya. Untuk tujuan ini telah banyak orang yang menyatakan dukungan kepadanya. Dia datang ke Damaskus pada bulan Sya’ban, kemudian ke Mesir pada Idul Fitri. Sultan Malik naik ke atas benteng. Sedangkan Al-Muzhaffar berada di tengah-tengah sahabatnya sebelum kedatangan Sultan Malik. Begitu datang, Al-Muzhaffar ditangkap dan dibunuh tahun itu juga.

Pada 736 H, terjadi perselisihan antara sultan dan khalifah. Akhirnya khalifah ditangkap, kemudian dipenjarakan di sebuah benteng dan tak seorang pun boleh menemuinya. Setelah itu, pada Dzulhijjah 737 H, Khalifah Al-Mustakfi diasingkan ke Qush.

Selain khalifah, semua anak dan keluarganya ikut pula diasingkan. Sultan Malik menyediakan semua kebutuhan khalifah. Semua keluarga khalifah yang diasingkan kala itu mendekati jumlah seratus orang. Al-Mustakfi sendiri berada di Qush sebagai orang buangan hingga wafat pada 740 H. Dia dimakamkan di tempat itu. Saat meninggalnya, Al-Mustakfi berusia 50 tahun lebih.

Ibnu Hajar dalam Ad-Durr Al-Kaminah menuliskan, Al-Mustakfi dikenal sebagai seseorang yang memiliki perilaku dan akhlak mulia, dermawan, tulisannya indah dan pemberani. Dia pandai bermain bola dan jago memanah. Dia selalu duduk dengan para ulama dan ilmuwan. Bahkan dalam beberapa hal dia banyak melebihi mereka. Walaupun secara resmi diasingkan, namun para khatib masih tetap menyebutkan namanya dalam khutbah-khutbah mereka. Di awal-awal kekuasaannya terjalin hubungan erat antara dia dan sultan. Mereka berdua sering keluar ke alun-alun untuk bermain bola. Bahkan dalam pandangan banyak orang, mereka laksana dua orang saudara.

Penyebab terjadinya konflik antara keduanya adalah tatkala ada satu panggilan yang di atasnya ada tulisan khalifah yang meminta sultan untuk menghadiri pengadilan. Sultan sangat marah menerima surat panggilan itu. Peristiwa itu akhirnya membuat sultan menangkap khalifah dan mengasingkannya ke Qush. Namun sultan tetap memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya kepada khalifah, bahkan melebihi kadar yang ia berikan pada saat khalifah berada di Mesir.

sumber : republika

Al-Mustanshir Billah II, Menyambung Kekosongan Khilafah

 Namanya adalah Ahmad, Abu Al-Qasim bin Azh-Zhahir Biamrillah. Dalam sejarah, ia dikenal dengan Al-Musta'shim Billah. Ia sekaligus paman dari Khalifah Al-Musta’shim Billah.

Menurut Syekh Quthbuddin sebagaimana dikutip Imam As-Suyuthi, Al-Mustanshir dipenjara di Baghdad. Ketika pasukan Tartar menguasai kota itu, dia dilepaskan dan melarikan diri. Dia berjalan ke perbatasan Irak dan dan tinggal di sana. Namun menurut Joesoef Sou’yb, ketika pembantaian terjadi, ia sedang berada di luar Baghdad, sehingga ia selamat dari maut.

Tatkala Azh-Zhahir Baybars menobatkan diri sebagai sultan, Al-Mustanshir datang bersama sepuluh orang dari Bani Muharisy. Sultan yang disertai para hakim segera keluar menyambut kedatangannya. Timbul rumor di Kairo tentang siapa sebenarnya dia. Akhirnya ia menegaskan di depan hakim agung, Tajuddin bin Al-A’azz. Setelah itu, Al-Mustanshir dilantik sebagai khalifah (1261-1262 M).

Yang pertama kali membaiatnya sebagai khalifah adalah Sultan Azh-Zhahir sendiri, disusul Hakim Tajuddin, lalu Syekh Al-Izz bin Abdus Salam dan disusul pejabat lain secara bergilir sesuai dengan kedudukan masing-masing. Pembaiatan itu berlangsung pada Rajab 660 H.

Dia diberi gelar sama dengan gelar saudaranya,  yakni Al-Mustanshir Billah. Penduduk menyambut gembira pelantikannya sebagai khalifah. Setiap Jumat, dia keluar untuk melakukan shalat. Dia sendiri yang naik mimbar dan berkhutbah di tengah manusia dengan menyebutkan keutamaan Bani Abbas. Tidak lupa dia juga selalu mendoakan sultan dan kaum Muslimin secara keseluruhan. Setelah itu dia menjadi imam shalat Jumat.

Al-Mustanshir berencana mengangkat sultan dalam sebuah upacara yang resmi dan menuliskan pengangkatannya secara formal. Setelah itu didirikanlah perkemahan di kota Kairo. Pada Senin 4 Sya’ban, Al-Mustanshir Billah II dan sultan datang ke kemah itu. Hadir dalam kesempatan itu para pejabat tinggi, para hakim, dan menteri. Saat itulah khalifah mengenakan pakaian kebesaran untuk sultan dengan tangannya sendiri dan dia kalungkan tanda kehormatan baginya.

Imam Adz-Dzahabi berkata, “Tak seorang pun yang menjadi khalifah setelah anak saudaranya kecuali dia (Al-Mustanshir Billah II) dan Al-Muqtafi.”

Sedangkan penguasa di Halb (Aleppo), Syamsuddin Aqusy juga mendirikan khilafah dan bergelar Al-Hakim Biamrillah. Dia juga didoakan di mimbar-mimbar dan namanya ditulis pada uang dirham.

Khalifah Al-Mustanshir Billah II berhasil menaklukkan Al-Haditsah, lalu Hita. Saat itulah datang pasukan Tartar. Kedua pasukan itu pun segera terlibat dalam pertempuran sengit. Sebagian kaum Muslimin terbunuh dalam peperangan tersebut. Sedangkan Khalifah Al-Mustanshir sendiri dihukum pancung. Ada juga yang mengatakan dia selamat dalam peperangan itu dan melarikan diri. Penduduk negeri itu tidak memberitahukan ke mana khalifah melarikan diri.

Peristiwa ini terjadi pada 3 Muharram 661 H. Dengan demikian, ia menjabat sebagai khalifah hanya dalam jangka waktu kurang dari enam bulan. Setelah itu Al-Hakim Biamrillah menjadi khalifah yang sebelumnya telah dilantik pada masa hidupnya di Halb.
sumber : republika

Thursday, May 26, 2011

Daulah Abbasiyah: Al-Musta’shim, Korban Pembantaian Tartar

Al-Musta'shim dilahirkan pada 609 H. Ibunya seorang wanita mantan budak bernama Hajar. Nama lengkapnya adalah Al-Musta'shim billah, Abu Ahmad, Abdullah bin Al-Musta'shim bin Al-Mustanshir Billah. Ia adalah khalifah ke-37 (1242-1258 M) atau khalifah Bani Abbasiyah terakhir di Irak.

Khalifah Al-Musta'shim adalah seorang khalifah yang pemurah, penyabar, dan baik agamanya. Perbedaannya dengan sang ayah adalah dari kejelian dan kewaspadaan.

Al-Musta'shim memiliki banyak kelemahan dan terlalu menggantungkan pemerintahannya pada menterinya yang bernama Muayiddin Al-Alqami Ar-Rafidhi, yang berasal dari kalangan Syiah Rafhidah.

Padahal menteri inilah yang banyak melakukan pengkhianatan terhadap negara dengan cara membocorkan rahasia kekuatan negara pada orang-orang Tartar, dengan tujuan agar mereka menyerang dan menghancurkan Dinasti Abbasiyah serta mendirikan kerajaan bagi keturunan Ali.

Penguasaan orang-orang Tartar terhadap Asia tengah dimulai pada 615 H, dengan menguasai Bukhara dan Samarkand. Dalam penaklukan itu mereka membunuh banyak orang dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Setelah itu, mereka menguasai Bukhara, Samarkand, Khurasan, Ray, Hamadzan, Irak, Azerbaijan, Darband Syarwan, Lan, Lakz, Qafjaq, dan wilayah-wilayah di sekitarnya yang merupakan wilayah Bani Abbasiyah.

Puncaknya pada 656 H, orang-orang Tartar di bawah pimpinan Hulagu Khan sampai ke Baghdad, pusat pemerintahan Bani Abbasiyah. Kedatangan mereka disambut tentara Khalifah Al-Musta'shim. Namun karena semangat dan jumlah tentara yang tidak seimbang, dalam waktu singkat tentara khalifah disapu bersih oleh pasukan Tartar.

Tentara khalifah saat itu bukan tentara Islam yang sebenarnya. Iman yang mulai rapuh, pemerintahan yang korup, semangat tempur yang rendah, perpecahan karena perbedaan kelompok dan kepentingan di antara pimpinan pasukan menjadi penyebab kekalahan tentara Bani Abbasiyah.

Pada 10 Muharram 656 H, pasukan Tartar memasuki Baghdad tanpa mendapatkan perlawanan sedikit pun. Sebagian besar tentara khalifah terbunuh, begitu juga dengan keluarganya. Sang menteri pengkhianat menasihati Khalifah Al-Musta'shim agar datang menemui orang-orang Tartar untuk mengadakan kesepakatan damai.

Ternyata ini hanya siasat sang menteri. Sebab setiap rombongan yang diutus khalifah keluar, langsung dibunuh, dan begitu seterusnya. Peristiwa ini telah banyak menelan korban dari kalangan ulama, fuqaha dan orang-orang penting di sekitar khalifah.

Adapun tentara Tartar yang berhasil memasuki Baghdad mengadakan pesta pembantaian terhadap siapa saja yang melawan atau tidak melawan. Kekejaman pembantaian ini melebihi apa yang dilakukan oleh Nebukadnezar ketika menaklukkan Baitul Maqdis. Selama empat puluh hari, korban yang jatuh dalam peperangan lebih dari satu juta penduduk. Konon selama empat puluh hari itu juga api tak pernah padam di Baghdad.

Setelah selesai dengan pembantaian terhadap khalifah dan penduduk Baghad, Menteri Muayiddin Al-Alqami meminta Hulagu Khan agar mengangkat orang-orang Alawiyin sebagai khalifah. Namun permintaan ini ditolak oleh Hulagu Khan. Bahkan Ibnu Al-Qami dijadikan pelayan mereka dan akhirnya mati dalam keadaan yang mengenaskan.

Belum puas dengan penaklukan Baghdad, Hulagu Khan mengirim surat kepada An-Nashir, penguasa Damaskus, agar menyerah kepada pasukan Tartar. Permintaan ini ditolak.

Pada 658 H, pasukan Tartar menyeberangi sungai Furat dan bergerak menujuk Halb. Mereka pun bersiap-siap menyerang Damaskus. Tentara Mesir yang dipimpin oleh Al-Muzhaffar dan panglima perangnya Ruknuddin Baybars Al-Bandaqari, menyambut kedatangan pasukan Tartar dengan semangat jihad tinggi.

Kedua pasukan bertemu di Ayn Jalut dan pertempuran sengit pun pecah pada 15 Ramadhan. Pasukan Tartar mengalami kekalahan telak dalam pertempuran ini. Sebagian kecil tentara Tartar yang mencoba melarikan diri terus dikejar oleh Baybars hingga ke Halb dan berhasil mengusir mereka dari tanah Arab.

Hingga 659 H, belum juga ada khalifah di dunia Islam. Akhirnya, didirikanlah Khalifah di Mesir dan Al-Mustanshir diangkat sebagai khalifah pertama. Dunia Islam kehilangan kekhalifahan selama 3,5 tahun.

Sebagian besar buku sejarah, ketika memaparkan sejarah para khalifah, berhenti pada Khalifah Al-Musta'shim ini. Padahal ada beberapa Khalifah Abbasiyah berikutnya yang sempat bertahan di Mesir. Mereka masih tergolong Khalifah Abbasiyah yang diakui sejarah. Meskipun wewenang mereka tidak besar, tetapi para penguasa setempat merasa mendapatkan kehormatan jika direstui oleh khalifah yang berada di Mesir.

Bahkan Sultan Bayazid I dari Daulah Ustmaniyah, merasa perlu meminta restu dari khalifah di Mesir, sebelum akhirnya Sultan Salim I mengambil alih khilafah dari tangan Khalifah Al-Mutawakkil III dan mendirikan Khilafah Utsmaniyah di Istanbul, Turki.

Sumber : republika

Daulah Abbasiyah: Al-Mustanshir, Khalifah Pemberani

Ia adalah khalifah Bani Abbasiyah ke-36 (1226-1242 M). Buku-buku sejarah mengabadikannya dengan nama Al-Mustanshir Billah atau Abu Ja'far. Nama aslinya Manshur bin Azh-Zhahir Biamrillah. Dia dilahirkan pada Shafar 588 H. Ibunya seorang mantan budak berasal dari Turki.

Dia dilantik menjadi khalifah setelah ayahnya meninggal pada Rajab 623 H. Al-Mustanshir dikenal sebagai pribadi yang senantiasa menyebarkan keadilan di tengah rakyatnya. Ia memutuskan suatu perkara dengan adil. Dia dekat dengan orang-orang berilmu.

Ia juga banyak membangun sekolah dan masjid, juga rumah sakit. Dia membangun menara-menara Islam dan membungkam orang-orang yang membangkang. Dia mencegah munculnya fitnah dan mengajak manusia untuk melakukan perbuatan yang lurus.

Ibnul Atsir dalam Al-Kamil memaparkan kisah menarik tentang Al-Mustanshir. Kebetulan Ibnul Atsir hidup pada masa yang sama dengan khalifah. Pada Jumat pertama di masa pemerintahannya, ia hendak melaksanakan shalat di tempat biasanya digunakan para khalifah. Namun dikabarkan tempat tersebut rusak. Ia pun berjalan dan membaur dengan masyarakat. Hal yang nyaris tak pernah dilakukan khalifah sebelumnya. Kebiasaan itu terus ia lakukan hingga tempat shalat itu selesai diperbaiki.

Sang khalifah telah menegakkan ruh jihad dengan sebaik-baiknya dan mengumpulkan tentara Islam untuk menegakkan agama Allah di muka bumi. Dia menjaga wilayah perbatasan dari serangan musuh dan sekaligus membuka benteng-benteng musuh.

Perjalanan hidupnya dihiasi dengan tindakan-tindakan yang baik dan penuh pesona. Syiar agama ditegakkan dan menara Islam dipancangkan. Karenanya, rakyat mencintainya dan tak henti-henti memujinya. Ia juga sangat dekat dengan kakeknya, Khalifah An-Nashir.

Al-Mustanshir senang melakukan kebaikan dan rajin menyebarkannya. Kisah tentang sikapnya yang baik ini terekam dengan tinta emas. Dia membangun perguruan Al-Mustanshiriyah dengan gaji yang sangat memadai bagi para pengajar.

Ibnu Washil berkata, "Al-Mustanshir telah membangun sebuah perguruan di sebelah timur Dajlah, satu bangunan yang tidak ada tandingannya di muka bumi. Di tempat itu diajarkan empat mazhab sekaligus. Dia membangun tempat tinggal para fuqaha (ahli fikih). Pada saat yang sama, dia membangun rumah sakit-rumah sakit."

Perhatian Al-Mustanshir terhadap para fuqaha sangat tinggi. Ia memerintahkan agar di rumah mereka selalu disediakan tikar dan  karpet, kertas dan tinta, juga berbagai fasilitas lainnya. Tiap bulan ia juga menggaji para fuqaha tersebut. Semua ini belum pernah dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.

Al-Mustanshir dikenal sebagai khalifah yang memiliki kemauan keras dan pemberani, terutama dalam menghadapi musuh-musuhnya. Saat ia berkuasa, orang-orang Tartar bermaksud menyerang Baghdad. Di tengah jalan mereka bertemu dengan pasukan khalifah. Pasukan khalifah berhasil mengalahkan lawannya pada peperangan itu.

Khalifah Al-Mustanshir meninggal pada Jumat, 10 Jumadil Akhir 640 H. Tatkala ia meninggal dunia, Duwaidar dan Asy-Syarabi tak memberi kesempatan pada Al-Khafaji untuk memegang kendali khilafah. Keduanya khawatir akan kehilangan pengaruh. Mereka mengangkat putra Al-Mustanshir, Abu Ahmad, sebagai khalifah.

Mereka melihat anak itu lemah dan miskin ide. Dengan demikian mereka dapat mengendalikannya. Akibatnya kaum Muslimin berhasil ditaklukkan oleh orang-orang Tartar pada masa pemerintahannya.

Sunday, May 15, 2011

Daulah Abbasiyah: Al-Mustazhir Abul Abas, Dekat dengan Ulama

Al-Mustazhir dilahirkan pada Syawwal 420 H. Dia dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-28 (1094-1118 M) pada saat kematian ayahnya. Saat itu, usianya baru menginjak 16 tahun dua bulan.

Al-Mustazhir memiliki perilaku lembut, berakhlak mulia, dan berlaku baik kepada setiap orang. Ia banyak beramal saleh, tulisannya indah, dan tidak ada seorang pun yang mampu menyamainya.

Selain itu, ia dikenal sebagai sosok yang mencintai ulama dan orang-orang saleh. Namun demikian, kekhilafahannya tidaklah mulus. Bahkan pemerintahannya selalu berada dalam guncangan yang terus-menerus.

Di awal pemerintahannya, Al-Mustansir Al-Ubaidi, seorang pemimpin Syiah yang berkuasa di Mesir meninggal dunia. Dia digantikan anaknya, Al-Musta'li Ahmad. Di tahun ini, orang-orang Romawi berhasil merebut Balansiyah.

Pada 490 H, Sultan Arsalan Arghun bin Alib Arsalan As-Saljuki, penguasa di Khurasan meninggal dunia, maka kesultanan diserahkan kepada Sultan Barkiyaruq. Negeri itu tunduk di bawah kekuasaannya. Pada tahun ini orang-orang Eropa berhasil mencaplok Nicae.

Pada 492 H, aliran kebatinan menyebar di Isfahan. Pada tahun ini pula orang-orang Eropa berhasil merampas Al-Quds dari tangan umat Islam setelah dikepung selama satu bulan setengah.

Saat itu, lebih dari 70.000 orang dibantai. Di antara mereka yang terbunuh adalah kalangan ulama, ahli ibadah dan orang-orang zuhud. Orang-orang Eropa juga menghancurkan tempat-tempat ibadah kaum Muslimin. Selain itu, mereka menghimpun orang-orang Yahudi di tempat peribadatan mereka, lalu membakarnya.

Pada 498 H, Sultan Barkiyaruq meninggal dunia. Para pembesar mengangkat anaknya yang bernama Jalal Ad-Daulah Malik Syah sebagai penggantinya. Khalifah pun menyetujuinya.

Pada 509 H, Maudud, penguasa Mosul, datang dengan angkatan perang yang sangat besar untuk memerangi orang-orang Eropa yang bercokol di Al-Quds. Akhirnya terjadilah peperangan sengit antara kedua pasukan. Usai pertempuran, Maudud meninggal karena dilukai musuh.

Pada tahun 512 H, Khalifah Al-Mustazhir wafat, tepatnya pada Rabu 13 Rabiul Awwal, dalam usia 41 tahun. Dia memerintah selama 24 tahun 3 bulan 11 hari. Jenazahnya dimandikan Ibnu Aqil, seorang ulama madzhab Hambali.

Sedangkan anaknya, Al-Mustarsyid bertindak sebagai imam. Tak lama setelah kematian khalifah, neneknya yang bernama Arjuwan, ibu dari Al-Muqtadi, juga meninggal dunia.

Ada peristiwa aneh terkait dengan meninggalnya sang khalifah. Ketika Sultan Alep Arsalan meninggal dunia, tak lama kemudian meninggal juga Khalifah Al-Qaim Biamrillah. Ketika Sultan Malik Syah meninggal, wafat juga setelahnya Khalifah Al-Muqtadi Biamrillah.

Ketika Sultan Muhammad meninggal, wafat juga Khalifah Al-Mustazhir Billah. Peristiwa ini tentu saja sangat berpengaruh terhadap kondisi pemerintahan Bani Abbasiyah yang kehilangan tokoh secara bersamaan.

sumber : republika

Daulah Abbasiyah: Azh-Zhahir Biamrillah, Pewaris Dua Umar

Khalifah Azh-Zhahir dilahirkan pada 571 H. Nama aslinya Muhammad bin An-Nashir Lidinillah, Azh-Zhahir Biamrillah, Abu Nashr. Semasa hidupnya, sang ayah melantiknya sebagai putra mahkota. Khalifah Azh-Zhahir dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-35 (1225-1226 M) pada usia 52 tahun.

Pemerintahan Azh-Zhahir sangat berpihak kepada kepentingan rakyat. Dia menghapuskan bea cukai dan mengembalikan harta yang diambil paksa oleh aparat pemerintah dengan cara yang tidak benar.

Dalam menjalankan roda pemerintahan, menurut penulis kitab Al-Kamil, Azh-Zhahir melakukan apa yang pernah dilakukan oleh dua orang Umar sebelumnya, yakni Umar bin Al-Khathab dan Umar bin Abdul Azis. Dia selalu berkata jujur dan benar serta bertindak adil dalam menjalankan pemerintahannya. Ia mengembalikan harta rakyat yang pernah dirampas pada masa pemerintahan ayahnya dan menghapuskan semua pajak yang memberatkan rakyat sebagaimana yang pernah dilakukan oleh ayahnya.

Azh-Zhahir sangat teliti dalam masalah pengambilan zakat. Misalnya zakat tanaman, hanya diambil dari tanaman yang tumbuh sehat dan subur. Sedangkan tanaman yang kering dan tidak banyak berbuah, tidak diambil zakatnya.

Keadilannya dalam memerhatikan timbangan juga sangat ketat. Dia mengetahui bahwa pada masa pemerintahan sebelumnya, ayahnya menganjurkan rakyat menggunakan timbangan lebih berat setengah mistqal dari timbangan biasa. Azh-Zhahir memerintahkan kepada semua bawahannya untuk mengubah semua itu dan menggunakan timbangan yang biasa sambil mengawali setiap surat yang dikirimnya dengan surat Al-Muthaffifin ayat 1, "Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang."

Tindakan khalifah ternyata mendapat penolakan dari para bawahannya. Menurut mereka, jika timbangan yang dipakai oleh rakyat dikembalikan pada ukuran yang sebenarnya akan mengurangi pendapatan negara sebesar 350.000 dinar.

Mendengar hal itu, khalifah berkata, "Batalkan semua itu dan kembalikan kepada aslinya walaupun keuntungan yang akan didapat hanya sebanyak 35.000 dinar."

Khalifah juga sangat memerhatikan kehidupan para ulama dan cendikiawan Muslim dengan cara banyak membantu kesulitan hidup mereka. Ia juga selalu meminta saran dan nasihat dari mereka serta berpesan agar apa yang telah diberikan tidak memengaruhi sikap mereka.

Suatu ketika pernah datang kepada khalifah seorang penjaga pos keuangan dari Wasith dengan membawa uang sebanyak 100.000 dinar yang didapatkan dengan cara merampas secara paksa dari pemiliknya. Mengetahui hal itu, khalifah mengembalikan uang tersebut kepada pemiliknya.

Khalifah Azh-Zhahir juga membebaskan tawanan yang ditahan dengan tuduhan-tuduhan palsu ketika mereka melakukan perlawanan terhadap penguasa sebelumnya. Dia juga mengirimkan uang sebanyak 10.000 dinar kepada seorang hakim dan memerintahkannya untuk membagi-bagikan uang tersebut kepada rakyat yang membutuhkan. Azh-Zhahir juga selalu tampil di hadapan rakyatnya, satu hal yang jarang dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.

Suatu ketika khalifah meninjau kas negara. Salah seorang pegawai di tempat itu berkata, "Gudang ini di masa pemerintahan orang-orang sebelummu penuh dengan harta benda dan simpanan uang yang banyak. Saat ini di masa pemerintahanmu, isi gudang ini hampir habis karena engkau bagi-bagikan kepada rakyat."

Azh-Zhahir menjawab, "Sesungguhnya gudang negara dibuat bukan untuk dipenuhi. Sebaliknya, dia harus dikosongkan dan diinfakkan di jalan Allah. Karena sesungguhnya menghimpun harta itu adalah pekerjaan para pedagang, dan bukan pekerjaan seorang khalifah."

Khalifah Azh-Zhahir juga meriwayatkan banyak hadits berdasarkan rekomendasi dari syekhnya. Orang-orang yang meriwayatkan hadits darinya antara lain Abu Shahih bin Abdur Razzaq bin Syekh Abdul Qadir Al-Jili.

Azh-Zhahir meninggal dunia pada 13 Rajab 623 H. Masa pemerintahannya hanya sembilan bulan 24 hari.
sumber : republika

Daulah Abbasiyah: An-Nashir Lidinillah, Berpihak pada Syiah

Nama lengkapnya Ahmad An-Nashir Lidinillah. Ia adalah khalifah Bani Abbasiyah ke-34 (1180-1225 M). Dalam lembaran sejarah, ia juga sering dikenal dengan Abu Al-Abbas bin Al-Mustadhi Biamrillah. Khalifah yang lahir pada Senin, 10 Rajab 553 H ini, dilantik menggantikan ayahnya, Al-Mustadhi, pada 2 Dzulqa'dah 576 H.

Khalifah An-Nashir merupakan khalifah yang memerintah dalam kurun paling lama, yaitu hampir 46 tahun. Masa pemerintahannya diwarnai dengan kestabilan dan kemuliaan serta keagungan. Tak satu pun yang melakukan pemberontakan kecuali berhasil ditaklukkannya.

Masa pemerintahannya yang lama dan stabil itu tak lepas dari siasat dan kecerdikannya. Ia selalu menjalin persahabatan tanpa pandang bulu dengan raja-raja yang sebenarnya menjadi lawan politiknya. Tak satu pun masalah yang tak diketahui oleh khalifah.

Khalifah An-Nashir juga adala sosok pemberani dan cerdik. Ia mempunyai mata-mata di Irak dan wilayah-wilayah lain yang berada dalam kekuasaannya.

Namun demikian, ibarat pepatah, tak ada gading yang tak retak. An-Nashir dikenal juga cenderung melakukan tindakan kontroversial dan juga berpihak kepada Syiah Imamiyah. Padahal perbuatan ini tak dilakukan oleh para khalifah sebelumnya.

Ketika An-Nashir diangkat menjadi khalifah, ia mengirimkan utusan kepada Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi dan kembali mengangkatnya menjadi sultan. Pada 575 H, saat Sultan Shalahuddin memakai nama Al-Malik An-Nashir, dia mendapat teguran dari Khalifah An-Nashir karena nama tersebut telah dipakai oleh sang khalifah.

Pada 583 H, terjadi beberapa pembebasan wilayah. Sultan Shalahuddin berhasil menaklukkan sejumlah wilayah Syam yang sebelumnya berada di tangan orang-orang Eropa. Peristiwa terbesar adalah pembebasan Al-Quds yang sebelumnya dikuasai Eropa selama 91 tahun.

Pada 589 H, Sultan Shalahuddin meninggal dunia. Diutuslah seorang utusan ke Baghdad dengan membawa baju besi perang Shalahuddin dan kudanya serta uang satu dinar dan tiga puluh dirham.

Pada 606 H, orang-orang Eropa berhasil menguasai Konstantinopel. Mereka mengusir orang-orang Romawi dan menguasai wilayah itu hingga 660 H. Setelah itu mereka dikalahkan kembali oleh orang-orang Romawi. Akhirnya Konstantinopel mendapatkan cahaya dengan datangnya Islam.

Khalifah An-Nashir meninggal dunia pada 622 H. Menurut banyak riwayat, ia meninggal karena keracunan air yang diminumnya sehingga mengganggu saluran kantong kemihnya.

sumber : republika

Daulah Abbasiyah: Al-Mustadhi Liamrillah, Pembela Rakyat Jelata

Al-Hassan bin Al-Mustanjid bin Billah, demikian nama aslinya. Khalifah ke-33 (1170-1180 M) ini lahir pada 536 H. Ibunya seorang mantan budak asal Armenia bernama Ghadhdhah. Dia dilantik sebagai khalifah saat ayahnya meninggal.

Ibnul Jauzi berkata, "Dia menyerukan agar semua bea cukai dihapuskan dan semua harta yang diambil dengan cara tidak sah dikembalikan kepada para pemiliknya. Dia telah menampakkan sikapnya yang adil dan kedermawanannya yang belum pernah kami lihat sebelumnya. Dia mengkhususkan harta bagi orang-orang Bani Hasyim dan orang-orang keturunan Ali. Demikian juga untuk para ulama, sekolah-sekolah, dan tempat ibadah. Dia selalu mengeluarkan harta untuk berinfak dan beramal. Di masanya tidak pernah terjadi peperangan."

Khalifah ini dikenal penyabar, hati-hati dan lemah-lembut. Tatkala diangkat sebagai khalifah, dia memberi hadiah kepada para pembesar negeri dan yang lain. Dalam khutbah-khutbah di Baghdad, ia selalu disebut-sebut. Dia memberi uang kepada rakyatnya.

Adz-Dzahabi berkata, "Pada masa pemerintahannya, aliran Syiah Rafidhah melorot di Baghdad dan musnah sama sekali. Penduduk merasa aman dan tenteram. Mereka merasakan kebahagiaan yang luar biasa di masa pemerintahannya. Saat itu para khatib di masjid-masjid di Yaman, Barqah, Tuzur, Mesir hingga Aswan, mengucapkan doa keselamatan untuk khalifah."

Al-Imad, seorang penulis kenamaan berkata, "Sultan Shalahuddin Al-Ayyubi berhasil membuka Masjid Jami' di Mesir pada 567 H, dengan ketaatan penduduknya. Ini merupakan awal diadakannya khutbah Jumat di Mesir bagi Bani Abbas. Bid'ah diberantas, syariah kembali murni. Pada khutbah kedua disampaikan doa untuk Bani Abbas."

Sultan Nuruddin memerintahkan Syihabuddin Al-Muthahhir bin Allamah untuk menyampaikan berita gembira ini ke Baghdad dan ke seluruh wilayah negara Islam. "Segala puji bagi Allah, Dzat yang meninggikan dan mengangkat yang benar serta menyebarkannya, juga menghinakan yang bathil dan merendahkannya. Kini tidak ada lagi mimbar di negeri-negeri kecuali telah mengumandangkan khutbahnya untuk pemimpin kita Amirul Mukminin Al-Mustadhi Liamrillah, dan semua masjid telah melakukan itu. Subur makmurlah sunnah dan hancurlah pilar-pilar bid'ah," kata Nuruddin dalam suratnya.

Pada 569 H, Sultan Nuruddin yang saat itu berkuasa di Damaskus meninggal dunia, sedangkan anaknya yang bernama Ismail masih kecil.

Pada 572 H, Shalahuddin memerintahkan pembangunan tembok besar yang mengitari Mesir. Dalam melaksanakan proyek besar ini, Shalahuddin memerintahkan Amir Bahauddin Qaraqusy.

Ibnu Atsir mengatakan, "Tembok itu sepanjang 29.300 depa. Pada tahun ini pula dia memerintahkan pembangunan benteng Jabal Al-Muqattham, yang kemudian menjadi kediaman sultan. Bangunan ini baru selesai pada tahun ketika Sultan Malik Al-Kamil, salah seorang saudara Shalahuddin, berkuasa. Dialah orang pertama yang menempati kediaman sultan ini."

Pada 576 H, Khalifah Al-Mustadhi meninggal dunia, pada akhir bulan Syawwal. Dia menyerahkan kekuasaaan kepada anaknya yang bernama Ahmad yang bergelar An-Nashir Lidinillah.

sumber : republika

Daulah Abbasiyah: Al-Mustanjid, Sang Pembebas Pajak

Dia dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-32 (1160-1170 M) pada hari meninggalnya sang ayah, Al-Muqtafi. Nama aslinya Yusuf bin Al-Muqtafi. Al-Mustanjid dilahirkan pada 518 H. Ibunya seorang mantan budak dari Karji bernama Thawus.

Di kalangan sejarawan, dia dikenal sebagai sosok khalifah yang adil dan penuh kasih sayang. Dia membebaskan rakyat dari wajib pajak di beberapa wilayah. Bahkan di Irak, bea cukai tidak berlaku sama sekali. Dia adalah sosok yang keras terhadap mereka yang merusak.

Khalifah Al-Mustanjid pernah memenjarakan seorang laki-laki yang melakukan kejahatan terhadap manusia. Kemudian ada seorang kawannya yang datang untuk menebusnya dari penjara dengan uang sebesar 10.000 dinar. Al-Mustanjid berkata, "Aku akan memberikan uang kepadamu sebanyak 1.000 dinar, dengan syarat engkau tunjukkan kepadaku orang semacam ini sehingga aku menangkapnya dan memenjarakannya agar manusia selamat dari kejahatannya."

Ibnul Jauzi berkata, "Al-Mustanjid memiliki pemahaman tajam, pendapat-pendapat brilian, kecerdasan tinggi, serta akhlak mulia. Dia memiliki sajak-sajak indah dan mengagumkan. Di samping itu, ia juga dikenal memiliki pengetahuan tentang astronomi dan masih banyak lagi."

Salah satu syairnya yang terkenal adalah, "Dia hinakan aku dengan uban, padahal dia tenang selalu. Andaikata dia hinakan aku dengan sesuatu yang menghinaku. Jika rambut di kepalaku mulai memancarkan uban, tidakkah malam yang gelap dihiasi purnama putih."

Di awal pemerintahan Al-Mustanjid, penguasa Mesir, Al-Faiz, meninggal dunia. Dia digantikan oleh Al-Adhid Lidinillah, khalifah terakhir Bani Ubaid. Dalam urusan pemerintahan, Khalifah Al-Mustanjid tak sejalan dengan kebijakan Sultan Sulaiman Syah (1159-1161 M). Hal itu disebabkan Sultan bertindak sewenang-wenang terhadap kalangan bawah, baik terhadap tentara maupun kalangan non-militer.

Kesewenang-wenangan Sultan Sulaiman Syah menyebabkan kemarahan rakyat, khususnya para tentara yang ada di ibukota. Maka pada 556 H, tentara ibukota melakukan kudeta. Mereka menyerbu dan mengepung istana kediaman sultan hingga hancur.

Sepeninggal Sultan Sulaiman Syah, tentara dan rakyat mengangkat Arsalan Syah sebagai sultan. Ia seorang ahli militer dan negarawan yang terpandang. Sultan Arsalan Syah mampu menjalin kerjasama yang baik dengan Khalifah Al-Mustanjid, hingga ia mampu memegang tampuk kesultanan selama 15 tahun.

Khalifah Al-Mustanjid wafat pada 8 Rabiul Awwal 566 H. Ia memegang jabatan khalifah selama 10 tahun. Salah satu kisah menarik dari Al-Mustanjid, sebagaimana yang dikatakan Adz-Dzahabi, bahwa sejak ia sakit ada sinar merah yang terus-menerus memancar di langit dan sinar tersebut bisa dilihat dari tembok-tembok.

Beberapa tokoh yang meninggal pada masa pemerintahan Al-Mustanjid antara lain Ad-Dailami, penulis kitab Musnad Al-Firdaus; Al-Imrani, penulis kitab Al-Bayan dari kalangan Madzhab Syafi'i; Ibnu Al-Bazri seorang tokoh madzhab Syafi'i dari Jazirah Arab; menterinya yang bernama Ibnu Hubairah; Syaikh Abdul Qadir Al-Jailani; Imam Abu Sa'ad As-Sam'ani dan beberapa tokoh serta ulama lainnya.

sumber : republika

Daulah Abbasiyah: Al-Muqtafi, Sang Reformis Daulah

Abu Abdullah Al-Muqtafi Liamrillah, nama lengkapnya Muhammad bin Al-Mustazhir Billah. Dia dilahirkan pada 22 Rabiul Awwal 489 H. Ibunya berasal dari Ethiopia. Dia dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-31 (1136-1160 M) tatkala saudaranya dilengserkan.

Saat pelantikannya, ia berumur 40 tahun. Dia diberi gelar Al-Muqtafi karena melihat Rasulullah Saw dalam mimpinya enam hari sebelum menjadi khalifah. Dalam mimpi itu Rasulullah bersabda, "Perkara ini akan sampai di tanganmu, maka ikutilah jalan Allah (iqtafi biamrillah)." Berdasarkan sabda Rasulullah itulah, ia diberi gelar Al-Muqtafi Liamrillah.

Pada 531 H, Sultan Mas'ud mengambil semua kekayaaan khalifah dan tidak meninggalkan apa pun untuknya kecuali sebidang tanah. Sultan bahkan mengirim utusannya untuk meminta uang sebanyak 100.000 dinar dari khalifah.

Al-Muqtafi berkata, "Kami tidak melihat tindakan yang lebih aneh dari tindakan kalian. Bukankah kalian tahu bahwa Al-Mustarsyid telah memberikan semua hartanya untuk kalian dan kalian lihat apa yang terjadi. Setelah itu Ar-Rasyid berkuasa. Dia juga melakukan hal yang sama. Dia pergi dan mengambil semua yang tersisa. Tak ada yang tersisa kecuali alat-alat rumah tangga dan semuanya kalian ambil. Kalian juga mengambil semua pajak, kekayaan dan warisan. Lalu dari mana aku mendapatkan uang sebanyak itu?"

Akhirnya sang sultan tidak mengambil apa pun dari istana. Dia kembali mengambil pajak dan harta rakyat dengan cara kasar serta mengambil cukai dari para pedagang. Rakyat merasa sesak dadanya dengan apa yang dilakukan sultan.

Pada 547 H, Sultan Mas'ud meninggal dunia, dan digantikan oleh Malik Syah. Berkenaan dengan kematiannya, Ibnu Hurairah, salah seorang menteri Al-Muqtafi mengisahkan, tatkala orang-orang Sultan Mas'ud melakukan tindakan semena-mena atas nama Al-Muqtafi dan tidak memungkinkan bagi khalifah untuk menyatakan perang dengan terang-terangan, maka diambil keputusan untuk mendoakan Sultan Mas'ud selama sebulan sebagaimana Rasulullah mendoakan Ra'i dan Dzakwan.

Pada 549 H, Az-Zafhir Billah Al-Ubaidi, penguasa Mesir, terbunuh. Sebagai penggantinya dinobatkanlah anaknya yang bernama Al-Faiz Isa yang saat itu masih anak-anak. Sehingga dengan demikian melorotlah pamor kekuasaannya di Mesir.

Membaca kondisi yang baik ini Al-Muqtafi segera mengirim surat kepada Nuruddin Mahmud bin Zanky dan mengangkatnya sebagai penguasa Mesir. Dia memberi wewenang penuh kepada Nuruddin dan memberi gelar Al-Malik Al-Adil.

Kekuasaan Al-Muqtafi pun semakin kokoh dan kuat. Ia mampu memadamkan tindakan-tindakan pembangkangan. Dia berusaha menjadikan orang-orang yang berbeda dengannya agar mendukungnya. Kekuasaannya semakin hari semakin menguat dan kokoh hingga akhirnya dia meninggal dunia pada malam Ahad, 2 Rabiul Awwal 555 H. Khalifah Al-Muqtafi wafat dalam usia 66 tahun setelah memegang jabatan selama 24 tahun.

Ibnu Jauzi berkata, "Sejak zaman pemerintahan Al-Muqtafi, Baghdad dan Irak kembali ke pangkuan para khalifah. Tak seorang pun pesaing yang memandingi kekuasaan khalifah. Sebelumnya, sejak masa pemerintahan Al-Muqtadir, kekuasaan berada di tangan raja-raja kecil—yang disebut dengan sultan. Khalifah di masa itu tak lebih hanya sekedar simbol yang tak memiliki pengaruh."

"Khalifah Al-Muqtafi dikenal sebagai sosok yang sangat pemurah, sangat senang dengan ilmu hadits dan setia mendengarkan pendapat para ahlinya serta penuh perhatian terhadap ilmu pengetahauan. Ia juga sangat memerhatikan para ulama dan ilmuwan," tambah Jauzi.

Sumber : Republika

Daulah Abbasiyah: Ar-Rasyid Billah, Khalifah yang Terzalimi

Abu Ja'far Ar-Rasyid Billah, nama aslinya Manshur bin Al-Mustarsyid. Dia dilahirkan pada 502 H. Ibunya mantan budak. Disebutkan bahwa saat melahirkannya sang ibu mengalami kesulitan. Hingga akhirnya dipanggillah para dokter untuk membuka tempat keluarnya bayi. Dan dengan izin Allah, bayi itu berhasil dikeluarkan.

Ar-Rasyid memiliki wajah yang tampan, dan seorang dermawan. Dia dikenal fasih dan berwawasan luas. Ia seorang penyair, pemberani, murah hati, berperilaku baik, adil, dan membenci kejahatan.

Ayahnya menobatkannya sebagai putra mahkota pada 523 H. Ia dilantik sebagai khalifah pada saat ayahnya dibunuh pada Dzulqa'dah 529 H. Ia merupakan khalifah Daulah Abbasiyah ke-30 (1135-1136 M), dan dilantik menjadi khalifah pada usia 27 tahun.

Ar-Rasyid memerintah dalam tempo yang singkat, hanya 11 bulan. Hal itu disebabkan Ar-Rasyid ingin melanjutkan langkah-langkah yang telah ditempuh ayahnya dalam upaya memulihkan wewenang khalifah. Dan hal ini sangat tidak disukai Sultan Mas'ud, hingga mengakibatkan sengketa panjang antara khalifah dan sultan.

Setelah upacara pembaiatan khalifah di Baghdad selesai, Sultan Mas'ud beserta pengawalnya berangkat ke kota Ray. Di kota itu terdapat sebuah istana yang biasa digunakan oleh para Sultan Seljuk untuk bersantai.

Keberangkatan Sultan Mas'ud dengan dikawal pasukannya itu dipandang oleh khalifah merupakan saat yang tepat untuk melakukan surat-menyurat dengan para amir setempat. Termasuk Amir Dawud yang menjabat sebagai penguasai wilayah Azerbaijan dan Imaduddin Zanki yang menjabat sebagai pemimpin Mosul. Amir Dawud sebelumnya adalah seorang sultan, namun karena berselisih dengan Mas'ud, ia diturunkan dari jabatannya.

Ketika Sultan Mas'ud keluar ibukota, saat itulah Khalifah Ar-Rasyid mengundang para amir setempat untuk datang ke Baghdad. Mereka datang dengan membawa pasukan masing-masing. Berlangsunglah perundingan terakhir dan mencapai kesepakatan untuk menobatkan kembali Amir Dawud sebagai sultan menggantikan Sultan Mas'ud. Dalam upacara penobatan itu diumumkanlah pemecatan Sultan Mas'ud oleh Khalifah Ar-Rasyid.

Ketika Sultan Mas'ud mendengar berita pemecatannya dan penobatan Amir Dawud sebagai sultan, bangkitlah kemarahannya. Namun ia masih mampu menahan diri. Ia pun mempersiapkan kekuatan di kota Ray untuk menghadapi pasukan gabungan di ibukota itu.

Akhirnya Baghdad berhasil dikuasai oleh Sultan Mas'ud. Sultan Dawud sendiri dengan pasukannya terpaksa pulang kembali ke Azerbaijan. Sementara Imaduddin Zanki dan Khalifah Ar-Rasyid terpaksa mundur ke Mosul.

Sultan Mas'ud segera mengumpulkan para pemuka masyarakat ibukota beserta pembesar pemerintahan. Dalam majelis itu, dia memperlihatkan supucuk surat yang ditulis dan ditandatangani sendiri oleh Khalifah Ar-Rasyid. Isinya memuat pernyataan pengangkatan Ar-Rasyid sebagai khalifah harus memperoleh restu dan persetujuan Sultan Mas'ud, dengan ketentuan bahwa Khalifah Ar-Rasyid tidak akan menggerakkan suatu perlawanan terhadap Sultan Mas'ud, seperti yang dilakukan bapaknya.

Di antara isi surat itu, "Sungguh kalau aku keluar memerangi salah seorang sultan dengan pedang, maka otomatis aku melepaskan kekhalifahan."

Ketika surat tersebut terbukti keasliannya, maka majelis memutuskan pemecatan Khalifah Ar-Rasyid berdasarkan fatwa qudhat (para hakim) dan fuqaha (para ahli hukum). Yang melaksanakan eksekusi pencopotan khalifah adalah Abu Thahir bin Al-Karkhi, seorang hakim wilayah itu. Lalu mereka beramai-ramai membaiat Muhammad bin Al-Mustazhir, paman Ar-Rasyid. Ia diberi gelar Al-Muqtafi Liamrillah. Peristiwa ini terjadi pada 16 Dzulqa'dah 530 H.

Tatkala berita tentang pencopotan dirinya sampai kepada Ar-Rasyid, ia segera pergi dari Mosul menuju Azerbaijan dengan ditemani beberapa orang. Mereka membawa perbekalan dari Muraghah, kemudian memutuskan istirahat di tempat itu. Baru setelah itu mereka melanjutkan perjalanan ke Hamadzan. Mereka mengumpulkan para ulama kemudian melanjutkan perjalanan ke Isfahan dan menduduki wilayah itu.

Ar-Rasyid menderita sakit keras di Isfahan. Pada saat itulah, sekelompok orang tiba-tiba datang menemuinya. Mereka menyamar sebagai pelayan dan membunuh Ar-Rasyid dengan pisau. Namun para pembunuh ini pun kemudian terbunuh juga.

Peristiwa ini terjadi pada 16 Ramadhan 531 H. Dengan demikian, masa kekhalifahannya hanya 11 bulan 11 hari. Saat kabar kematiannya sampai ke Baghdad, penduduk negeri itu menyatakan bela sungkawa dengan tidak mengadakan aktivitas selama sehari penuh.

Sumber : Republika

Daulah Abbasiyah: Al-Mustarsyid Billah, Sosok yang Penyayang

Nama lengkapnya adalah Abu Manshur Al-Fadhl bin Al-Mustazhir Billah. Dikenal sebagai sosok yang mempunyai kepribadian kuat, disiplin, memiliki pemikiran yang cemerlang dan sangat berwibawa. Mampu mengatur masalah negara dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak heran bila ia dicintai rakyatnya.

Al-Mustarsyid dilahirkan pada Rabiul Awwal 485 H. Ibunya mantan budak. Ia dilantik menjadi khalifah Bani Abbasiyah ke-29 (1118-1135 M) ketika ayahnya meninggal pada Rabiul Awwal 512 H.

Ibnu As-Subki dalam Thabaqat Asy-Syafi'iyah, mengatakan di awal-awal pemerintahannya Al-Mustarsyid menjadi seorang ahli ibadah. Ia sering menyendiri di tempat ibadah dan memakai kain wol yang kasar. Namanya ditulis dalam mata uang pada 488 H. Khalifah acap kali melakukan koreksi dengan memberikan masukan kepada sekretarisnya.

Berbeda dengan para khalifah sebelumnya yang rela menyesuaikan diri dengan kedudukannya dan bersedia menjadi sekedar lambang kekuasaan. Khalifah Al-Mustarsyid ingin memulihkan wewenang dan wibawa khalifah. Apalagi saat itu ia melihat sengketa antara keluarga Bani Seljuk dan Sultan Mahmud yang memperebutkan jabatan sultan di Baghdad.

Sultan Mahmud lebih banyak berada di luar Baghdad untuk menghadapi lawan-lawan politik yang ingin menumbangkannya. Khalifah Al-Mustarsyid berkesempatan membuat pasukan sendiri di Baghdad dengan alasan menjaga keamanan ketika Sultan Mahmud tidak ada. Belakangan, pasukan itu menjadi kekuatan besar dan tangguh.

Masa pemerintahan Al-Mustarsyid sempat dikotori oleh banyaknya rongrongan dan gangguan dari para pemberontak. Hampir semua pemberontakan yang ada dihadapi langsung oleh khalifah dengan gagah berani tanpa kenal takut. Pemberontakan yang terbesar adalah yang terjadi di Irak di mana akhirnya khalifah mengalami kekalahan.

Pada 525 H, Sultan Mahmud bin Muhammad Malik Syah meninggal dunia. Ia digantikan anaknya yang bernama Dawud. Tak lama kemudian terjadilah pemberontakan yang dilakukan pamannya, Mas'ud bin Muhammad.

Setelah sekian lama berperang, keduanya mengadakan perjanjian damai dan membagi wilayah kekuasaan menjadi dua. Keduanya menjadi raja kecil di wilayah itu. Kemudian Khalifah Al-Mustarsyid menobatkan keduanya sebagai sultan.

Ketika terjadi perselisihan antara khalifah dan Mas'ud, khalifah memeranginya. Saat kedua pasukan bertemu, banyak tentara khalifah yang melakukan pengkhianatan, sehingga akhirnya peperangan dimenangkan oleh tentara Mas'ud. Khalifah bersama para panglima perangnya akhirnya ditawan dalam sebuah benteng di Hamadzan.

Berita tertangkapnya khalifah segera tersiar luas di Baghdad. Banyak penduduk Baghdad yang menyesali tertangkapnya khalifah. Mereka meminta agar sang pemimpin dibebaskan.

Sultan Sanjar mengirimkan utusan kepada saudaranya, Mas'ud, agar membebaskan khalifah. Hal ini didorong oleh protes massal yang dilakukan penduduk Baghdad. Akhirnya Mas'ud menuruti saran saudaranya itu, khalifah dibebaskan dengan syarat mencium bumi dan ia meminta khalifah mengampuni apa yang telah dilakukannya.

Tak lama kemudian, Sultan Sanjar utusan disertai sejumlah tentara. Namun tentaranya disusupi oleh orang-orang dari kelompok Bathiniyah yang bermaksud membunuh khalifah.

Ibnul Atsir menyebutkan, ada 24 orang Bathiniyah yang masuk ke kemah khalifah. Mereka membunuh Khalifah Al-Mustarsyid dengan sadis. Peristiwa itu terjadi pada Kamis, 17 Dzulqa'dah 529 H. Saat itu usia Khalifah Al-Mustarsyid 43 tahun, masa pemerintahannya 17 tahun 6 bulan 20 hari.

Mengenai hal ini ada dua pendapat yang beredar. Pendapat pertama mengatakan, Mas'ud tidak tahu-menahu tentang hal itu dan semuanya di luar koordinasinya. Pendapat kedua mengatakan, Mas'udlah yang merencanakan semua itu untuk membunuh khalifah.

Pasukan penyusup itu kemudian menyerang dan membunuh khalifah beserta para pengawalnya. Kejadian itu tidak sempat diketahui oleh para tentara yang lain. Ketika mengetahui khalifah terbunuh, mereka segera mencari penyusup itu dan membunuhnya.

Sumber : Repubika

Tuesday, May 10, 2011

Daulah Abbasiyah: Al-Muqtadi Biamrillah, Khalifah Abbasiyah Terpandai

Para tokoh terkemuka di Baghdad sempat membicarakan siapa yang akan menggantikan Khalifah Al-Qaim. Pembicaraan itu berlangsung di bawah pimpinan Menteri Nizham Al-Muluk yang mewakili Sultan Malik Syah. Pilihan akhirnya jatuh pada Al-Muqtadi Biamrillah. Hal ini sesuai dengan wasiat Khalifah Al-Qaim sebelumnya.

Namanya Abul Qasim Abdullah bin Adz-Dzakhirah Abul Abbas Muhammad bin Al-Qasim Biamrillah. Ayahnya meninggal saat Khalifah Al-Qaim masih hidup. Saat itu dia masih berada dalam kandungan.

Dia dilahirkan enam bulan setelah kematian ayahnya. Ibunya seorang mantan budak bernama Arjuwan dari keturunan Seljuk. Konon ibunya diberi gelar Qurratu A'yun. Ia sempat menikmati masa pemerintahan anaknya, juga kekhalifahan Al-Mustazhir Billah dan Al-Mustarsyid Billah.

Dia dilantik sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-27 (1075-1094 M) setelah kakeknya meninggal. Saat itu Al-Muqtadi berumur 19 tahun 3 bulan. Pembaiatannya sebagai khalifah dihadiri oleh seorang ulama besar, yaitu Sykeh Abu Ishaq Asy-Syairazi dan Ibnu Shabbaghah Ad-Damighani.

Al-Muqtadi dikenal sebagai sosok yang taat beragama, memiliki perilaku yang baik, jiwa yang kokoh, serta cita-cita dan keinginan yang tinggi. Dia merupakan salah seorang terpandai di antara Khalifah Bani Abbasiyah.

Pada masanya, pondasi kekhilafahan sangat kokoh dan mantap, serta memiliki kehormatan yang tinggi. Satu hal yang sangat jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya.

Di antara hasil kerja baiknya adalah mengasingkan penyanyi wanita dan wanita yang tidak sopan dari Baghdad. Dia juga memerintahkan kepada setiap rakyat agar tidak masuk ke tempat mandi kecuali menggunakan sarung. Dia juga menghancurkan bangunan-bangunan tempat pengawasan orang-orang mandi dengan tujuan untuk menjaga kehormatan orang yang mandi.

Pada 484 H, orang-orang Eropa menguasai pulau Sisilia. Pulau itu sebenarnya merupakan pulau yang berhasil ditaklukkan orang-orang Islam pada tahun dua ratusan Hijriyah. Pada masa itu yang berkuasa di wilayah tersebut aadalah keluarga Aghlab sebelum datangnya Bani Ubaidi Al-Mahdi dari kalangan Syi'ah di Maroko.

Pada 485 H, Sultan Malik Syah datang ke Baghdad dengan rencana jahat. Dia mengirimkan seorang utusan kepada khalifah dengan membawa sepucuk surat, di dalamnya ia mengatakan, "Khalifah harus menyerahkan Baghdad kepada saya, dan pergilah kemana saja engkau suka!"

Khalifah Al-Muqtadi sangat terkejut mendengar ancaman ini. Dia berkata pada utusan itu, "Beri saya waktu sebulan untuk memikirkan permintaannya."

Namun dengan kasar Malik Syah mengirim kembali utusan itu seraya berkata, "Tak mungkin aku tunda walau hanya satu jam!"

Khalifah akhirnya mengirim utusan kepada pembantu Malik Syah untuk menundanya hingga sepuluh hari. Dalam masa penundaan ini, Malik Syah jatuh sakit lalu meninggal dunia. Peristiwa ini dianggap sebagai karomah yang diberikan Allah kepada khalifah.

Disebutkan bahwa dalam masa-masa penundaan itu, Khalifah Al-Muqtadi selalu melakukan puasa. Jika waktu berbuka tiba, ia duduk di atas debu dan mendoakan semoga Malik Syah celaka. Dan Allah mengabulkan doanya, sehingga sultan tamak itu pergi dijemput ajal.

Saat kematian Sultan Malik Syah, istrinya yang bernama Turkan sengaja merahasiakannya. Setelah kematian suaminya, ia mengirim beberapa utusan kepada beberapa pejabat secara rahasia. Dia meminta mereka agar menyatakan sumpah setia kepada anaknya, Mahmud, dan menjadikannya sebagai sultan. Para pejabat pun menyatakan sumpah setia.

Kemudian Turkan meminta Khalifah Al-Muqtadi untuk mengangkat anaknya sebagai sultan. Al-Muqtadi mengabulkan permintaannya dan menggelari Mahmud dengan Nashir Ad-Dunya wa Ad-Din.

Setelah itu, muncul pemberontakan yang dilakukan saudara Mahmud sendiri yang bernama Barkiyaruq bin Malik Syah. Akhirnya Barkiyaruq diangkat sebagai sultan dengan gelar Rukn Ad-Daulah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Muharam 487 H.

Keesokan harinya, 15 Muharam 487 H, Khalifah Al-Muqtadi meninggal secara mendadak. Disebutkan bahwa salah seorang budaknya yang bernama Syam An-Nahr telah meracuninya.

Setelah khalifah mangkat, ia digantikan oleh anaknya yang bernama Al-Mustazhir. Masa pemerintahan Al-Muqtadi berlangsung selama 19 tahun 8 bulan kurang dua hari. Usianya ketika wafat 38 tahun 8 bulan 7 hari.


Sumber : Republika

Daulah Abbasiyah: Al-Qaim Biamrillah, Dekat dengan Bani Seljuk

Abu Ja'far Al-Qaim Biamrillah, nama aslinya Abdullah bin Al-Qadir. Dilahirkan pada Dzulqa'dah 391 H. Ibunya seorang mantan budak dari Armenia bernama Badar Ad-Duja, namun ada pula yang menyebutnya Qathr An-Nada.

Al-Qaim diangkat sebagai khalifah Daulah Abbasiyah ke-26 (1031-1075 M) pada Dzulhijjah 423 H, bergelar Al-Qaim Biamrillah pemberian ayahnya. Ibnu Atsir berkata tentang Al-Qaim, "Dia adalah lelaki yang tampan, wajahnya rupawan, kulitnya putih kemerahan dan tubuhnya semampai. Dia juga seorang yang wara', taat beragama, zuhud, banyak bersedekah dan memiliki keyakinan dan kesabaran yang tinggi. Dia juga memiliki ilmu yang sangat luas dan mahir dalam bidang tulis-menulis."

Pada 1034 Masehi, terjadi malapetaka dahsyat di wilayah Timur Tengah dan sekitarnya. Bermula dari gempa besar yang berlangsung hingga 40 hari. Disusul kemarau panjang dan berjangkitnya penyakit menular.

Ketika musibah itu berakhir, Khalifah Al-Qadir dan Amirul Umara Jalal Ad-Daulah bekerjasama melakukan berbagai perbaikan. Semua pihak menaruh hormat kepada Jalal Ad-Daulah. Suasana itu digunakan oleh Jalal Ad-Daulah untuk merombak gelar kehormatannya. Ia meresmikan dirinya dengan panggilan Mulk Al-Mulk (Raja Diraja). Khalifah Al-Qadir tidak keberatan atas hal itu.

Namun ia tak bisa menikmati gelarnya itu. Ia hanya bertahan empat tahun. Pada 433 H, ia jatuh sakit dan meninggal dunia. Jabatannya digantikan oleh Abu Kaliger putra Sulthan Ad-Daulah yang dipanggil dengan sebutan Mulk Muhyiddin.

Pada Dzulhijjah 450 H, seorang berkebangsaan Turki bernama Arsalan yang lebih dikenal dengan sebutan Al-Basasiri, menangkap Khalifah Al-Qaim. Dulunya ia adalah budak Turki yang dibeli oleh Baha Ad-Daulah.

Terjadi pertempuran sengit selama satu bulan di Baghdad antara khalifah dan pasukan Al-Basasiri yang membawa panji-panji pemerintahan Mesir. Al-Basasiri membawa Al-Qaim ke Anah dan memenjarakannya di tempat itu.

Diam-diam, Khalifah Al-Qaim berhasil melakukan surat-menyurat dengan Amir Toghrul Bek bin Mikail dari Bani Seljuk. Dengan pasukan besar, Toghrul Bek segera maju merebut wilayah Khurasan.

Terakhir, ia berhasil masuk Baghdad dan menangkap Mulk Abdur Rahim, putra Mulk Muhyiddin, yang menentang Al-Qadir. Toghrul Bek memasukkan Mulk Abdur Rahim ke dalam penjara hingga meninggal dunia. Dengan demikian, berakhirlah riwayat kekuasaan keluarga Buwaih.

Belakangan karena keberhasilannya itu, Toghrul Bek dianugerahi gelar Mulk oleh Khalifah Al-Qaim. Sejak itu, Panglima Besar keturunan Bani Seljuk ini dikenal dengan Mulk Toghrul Bek.

Namun setelah itu, Arsalan atau Al-Basasiri menulis surat kepada pejabat yang memerintah di Anah agar membebaskan khalifah secara terhormat. Akhirnya, khalifah Al-Qaim kembali menduduki kursi kehormatannya pada 25 Dzulqa'dah 451 H.

Setelah khalifah kembali, Mulk Toghrul Bek mempersiapkan tentara untuk menggempur Al-Basasiri dan berhasil membunuhnya. Setelah pulang dari penjara, khalifah tidak pernah tidur kecuali di tempat ia shalat, dan terus-menerus berpuasa dan shalat malam, memberi ampunan kepada siapa saja yang menganiayanya.

Pada malam Kamis, 13 Sya'ban 467 H, Khalifah Al-Qaim Biamrillah wafat. Penyebabnya adalah keluarnya darah dari hidungnya, dan dia menutup hidungnya dengan agar darah berhenti keluar. Namun ketika tertidur, sumbatan hidungnya terlepas, dan mengalirlah darah yang begitu banyak dari hidungnya. Ketika bangun kekuatannya telah habis.

Khalifah kemudian meminta cucunya Abdullah bin Muhammad untuk menjadi putra mahkota, dan memberikan beberapa nasihat kepadanya. Ia pun menghembuskan nafas terakhir. Al-Qaim menjadi khalifah selama 45 tahun.

Sumber : Republika

Daulah Abbasiyah: Al-Qadir Billah, Khalifah yang Berbudi

Al-Qadir Billah dilahirkan pada 336 H. Ibunya seorang mantan budak bernama Tumna. Dalam Tarikh Baghdad disebutkan namanya, Yumna. Ada pula yang menyebutnya Dumnah. Nama Al-Qadir adalah Ahmad bin Ishaq bin Al-Muqtadir.

Dia dilantik sebagai khalifah Daulah Abbasiyah ke-25 (991-1031 M) setelah pengunduran diri Ath-Tha'i. Saat pelantikan ia tidak berada di Baghdad. Dia baru datang pada 10 Ramadhan, yaitu keesokan harinya setelah pelantikan.

Pelantikan Khalifah Al-Qadir disambut suka cita oleh seluruh penduduk negeri. Sebab sebelum dilantik sebagai khalifah, Al-Qadir dikenal berbudi mulia, memiliki komitmen keagamaan yang mantap, memiliki wibawa, selalu melakukan shalat tahajud, banyak melakukan tindakan-tindakan terpuji, dan banyak bersedekah.

Pada bulan Syawwal, terjadilah kesepakatan antara Al-Qadir dengan Baha Ad-Daulah. Mereka saling bersumpah untuk menepati kesepakatan. Khalifah Al-Qadir memberikan tugas khusus kepadanya.

Pada 394 H, Baha Ad-Daulah menugaskan Asy-Syarif Abu Ahmad Al-Husain bin Musa Al-Musawi untuk menjabat di pengadilan dalam masalah-masalah haji, pidana, dan masalah-masalah perdata. Baha Ad-Daulah menuliskan hal ini dari Syairaz. Namun Asy-Syarif tidak melaksanakannya karena tidak mendapat izin dari Al-Qadir.

Pada 395 H, terjadi permusuhan antara orang-orang Syi'ah dan Sunni. Saat itu, Syekh Abu Hamid Al-Isfirayini nyaris terbunuh. Mengetahui keadaan yang bisa membahayakan keamanan negara itu, Khalifah Al-Qadir bertindak cepat. Ia memerintahkan para tentaranya untuk mengamankan golongan Ahlus Sunnah dari ancaman kaum Syi'ah Rafidhah yang ingin membunuh para ulama Ahlus Sunnah.

Pada 399 H, Abu Amr dicopot dari jabatannya sebagai hakim di Bashrah. Sedangkan sebagai penggantinya diangkatlah Abu Al-Hasan bin Abu Asy-Syawarib. Pada tahun ini pemerintahan Bani Umayyah di Andalusia mengalami kemerosotan yang sangat parah dan sistem pemerintahannya morat-marit.

Amirul Umara Baha Ad-Daulah meninggal pada 403 H dalam usia 42 tahun setelah berkuasa selama 24 tahun 9 bulan. Ia digantikan oleh putranya Abu Syuja' dengan panggilan Sulthan Ad-Daulah yang berkuasa selama delapan tahun.

Ia pun digantikan oleh saudaranya, Abu Ali, dengan panggilan Musyrif Ad-Daulah. Selanjutnya tokoh ini hanya berkuasa selama enam tahun, ia pun digantikan oleh saudaranya, Abu Thahir, dengan julukan Jalal Ad-Daulah.

Pada masa inilah Khalifah Al-Qadir wafat. Ia meninggal dunia pada Senin 11 Dzulhijjah 423 H. Masa pemerintahannya berlangsung selama 40 tahun tiga bulan.

sumber : Republika

Daulah Abbasiyah: Ath-Tha'i Lillah, Tertawan Orang Dekat

Ath-Tha'i Lillah bergelar Abu Bakar, nama aslinya adalah Abdul Karim bin Al-Muthi'. Ibunya seorang budak bernama Hazar. Ada pula yang menyebutnya Atab. Saat ayahnya menyatakan mundur dari jabatan khalifah dan menyerahkan kepada anaknya, Ath-Tha'i Lillah berumur 43 tahun. Ia adalah khalifah Daulah Abbasiyah ke-24 (974-991 M).

Di antara para khalifah Bani Abbasiyah, tidak ada yang dinobatkan sebagai khalifah  pada usia yang demikian lanjut. Dalam sejarah Islam, tidak ada juga yang namanya Abu Bakar kecuali Khalifah Ath-Tha'i Lillah dan Abu Bakar Ash-Shiddiq.

Pada masa pemerintahan Ath-Tha'i, pengaruh Syiah Rafidah semakin kuat di Mesir, Syam dan wilayah-wilayah Timur dan Maghrib. Ada seruan dari Bani Ubaidillah agar shalat tarawih tidak dilakukan.

Pada masa ini pula, Al-Muiz Lidinillah Al-Ubaidi penguasa Mesir meninggal dunia. Dia orang pertama yang mampu menguasai Mesir dari kalangan Bani Ubaid. Setelah meninggal, kekuasaan diserahkan kepada anaknya, Nizar, dan diberi gelar Al-Azis.

Pada 366 H, Al-Muntashir Billah Al-Hakam bin An-Nashir Lidinillah Al-Umawi, penguasa Andalusia, meninggal dunia. Putranya, Hisyam, yang bergelar Al-Muayyid Billah menggantikannya.

Ketika Adhuh Ad-Daulah dinobatkan sebagai pemangku kesultanan, upacara dilakukan besar-besaran. Dia diarak keliling kota dengan memakai mahkota yang berhiaskan permata dan di pinggangnya disandangkan pedang. Dia diberi dua bendera. Salah satunya bendera dengan lapisan warna perak yang melambangkan kekuasaan bagi gubernur dan yang satu lagi berwarna keemasan yang menggambarkan kekuasaan bagi putra mahkota. Bendera kedua ini belum pernah diberikan kepada siapa pun sebelumnya.

Pada 368 H, Ath-Tha'i memerintahkan seluruh penduduk agar setiap Subuh, Maghrib dan Isya, ditabuh genderang di muka rumah Adhud Ad-Dauhlah. Dia juga memerintahkan agar dalam setiap khutbah disebutkan namanya.

Pada 369 H, Adhud Ad-Daulah meminta pada Ath-Tha'i agar memberikan tambahan gelar padanya dengan julukan Taajul Millah. Dia meminta penobatan baru dan meminta agar diberikan mahkota. Ath-Tha'i memenuhi permintaannya.

Adhud Ad-Daulah hanya berkuasa selama enam tahun. Pada 372 H, ia meninggal dunia. Sebelum wafat ia sengaja menikahkan putrinya dengan Khalifah Ath-Tha'i dengan harapan kelak akan lahir seorang anak. Dengan demikian, ia berharap tampuk kekuasaan berada pada keturunannya.

Khalifah Ath-Tha'i mengangkat anak Adhud Ad-Daulah yang bernama Shamshamud Daulah sebagai pengganti ayahnya. Ath-Tha'i menggelarinya dengan Syam Al-Millah.

Shamshamud Daulah hanya bertahan empat tahun. Saudaranya, Abul Fawaris, yang menjabat gubernur Ahwaz berangkat dengan pasukannya untuk merebut wilayah Wasit dan menguasainya.

Abul Fawaris naik menggantikan Shamshamud Daulah dengan sebutan Syaraf Ad-Daulah. Namun ia hanya bertahan dua tahun delapan bulan. Ia wafat pada usia 28 tahun. Posisinya digantikan saudaranya, Abu Nashr, dengan panggilan Baha Ad-Daulah yang berkuasa selama 28 tahun.

Pada 381 H, Khalifah Ath-Tha'i ditangkap karena memenjarakan orang dekat Baha Ad-Daulah. Setelah mengetahui orang terdekatnya ditangkap dan dipenjarakan, Baha Ad-Daulah dan orang-orangnya segera memenjarakan Ath-Tha'i.

Peristiwa ini mengguncangkan negeri. Baha segera menulis kepada Ath-Tha'i agar sukarela mengundurkan diri dari khilafah lalu menyerahkannya kepada Al-Qadir Billah. Peristiwa itu disaksikan oleh orang-orang terpandang. Ini terjadi pada 19 Sya'ban. Kemudian Al-Qadir yang saat itu sedang berada di Bathihah diminta segera datang ke istana.

Ath-Tha'i sendiri tetap berada di rumah Al-Qadir Billah. Dia diperlakukan sebagai orang terhormat. Demikianlah, perlakuan baik ini berlanjut hingga dia meninggal dunia pada 393 H, di malam Idul Fitri pada usia 76 tahun.

sumber : republika

Daulah Abbasiyah: Al-Muthi' Lillah, Sesepuh yang Mulia

Nama aslinya Al-Fadhl bin Al-Muqtadir bin Al-Mu'tadhid (946-974 M). Ibunya mantan budak bernama Syu'lah. Dia lahir pada 301 H, dan dilantik sebagai khalifah saat Al-Mustakfi dicopot dari kursi kekhalifahan pada Jumadil Akhir 334 H. Muiz Ad-Daulah menetapkan belanja harian untuknya hanya sebesar 100 dinar.

Ia merupakan khalifah Daulah Abbasiyah ke-23 dengan panggilan Al-Muthi' Lillah. Ia diangkat menjadi khalifah pada usia 34 tahun dan sempat menduduki jabatannya selama 29 tahun 5 bulan.

Menurut Joesoef Sou'yb, sang Khalifah bisa memegang kekuasaan demikian lama karena ia rela menerima kedudukannya sebagai lambang kekuasaan semata. Sedangkan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan Muiz Ad-Daulah yang berkuasa selama 22 tahun.

Kalau beberapa khalifah sebelumnya masih mempunyai kekuasaan tertentu dan masih ada menteri yang mendampinginya, namun sejak keluarga Buwaih memegang tampuk kekuasaan, maka hampir seluruh wewenang khalifah dicopot. Ia hanya dijadikan lambang kekuasaan semata. Khalifah hanya didampingi oleh seorang sekretaris yang bertugas mencatat dan mengurus anggaran belanja sang Khalifah.

Khalifah tidak lagi berhak mengambil jatah sesukanya dari Baitul Mal. Baginya telah ditetapkan anggaran tertentu, baik bagi dirinya maupun tamu dan pejabat istana. Lambang kekuasaan hanya berada pada doa khutbah Jumat dan Hari Raya. Khalifah Al-Muthi' hanya memegang stempel dan menandatangani surat-surat resmi dalam hal-hal tertentu saja.

Pada 338 H, Muiz Ad-Daulah meminta Al-Muthi' untuk melibatkan saudara Ali bin Buwaih, Imad Ad-Daulah, dalam masalah pemerintahan. Imad Ad-Daulah ingin menjadi pengganti Al-Muthi'. Al-Muthi' memenuhi apa yang ia minta, namun Imad Ad-Daulah keburu meninggal pada tahun itu juga. Akhirnya, Al-Muthi' mengangkat saudaranya, Rukn Ad-Daulah, yang tak lain adalah ayah dari Adhat Ad-Daulah.

Pada 354 H, saudari Muiz Ad-Daulah meninggal dunia. Al-Muthi' datang ke rumah Muiz Ad-Daulah untuk takziyah dengan menggunakan kendaraan. Setelah sampai di kediaman Muiz, Khalifah tidak turun dari tempat karena adanya rasa pesimis. Dia hanya mencium tanah beberapa kali, setelah itu kembali lagi ke istananya.

Pada 356 H, Muiz Ad-Daulah meninggal dunia. Anaknya yang bernama Bakhtiar menggantikan posisi ayahnya yang oleh Al-Muthi' diberi gelar Izz Ad-Daulah. Ternyata sang anak berbeda dengan ayahnya. Ketika utusan Irak Utara datang ke Baghdad dan meminta bantuan dan melaporkan keganasan pasukan Byzantium, Izz Ad-Daulah segera menemui Al-Muthi'.

Sejarah mencatat jawaban Khalifah Al-Muthi' kala itu, "Aku tidak mempunyai apa-apa kecuali khutbah. Kalau kau ingin, aku akan mengundurkan diri."

Izz Ad-Daulah mengancam dan mengingatkan nasib para khalifah sebelumnya. Khalifah Al-Muthi' terpaksa menjual perhiasan yang ia miliki untuk memenuhi tuntutan itu. Namun ternyata, harta itu tidak digunakan untuk bantuan ke Irak, tapi dipakai untuk pelesiran dan foya-foya. Bahkan Izz Ad-Daulah sempat menghina dan menyiksa utusan perwira Turki yang ikut dalam pasukan itu.

Pada 363 H, Al-Muthi' diserang penyakit lumpuh sehingga ia tak mampu bicara. Maka pengawal Izz Ad-Daulah meminta Al-Muthi' untuk mengundurkan diri dari kekhalifahan dan segera menyerahkannya kepada anaknya yang bernama Ath-Tha'i Lillah.

Al-Muthi' menuruti saran tersebut. Pengunduran resminya dia nyatakan pada Rabu 13 Dzulqa'dah. Dengan demikian masa pemerintahan Al-Muthi' adalah 29 tahun lebih lima bulan. Pengunduran dirinya dikokohkan oleh Qadhi Ibni Syaiban. Setelah pengunduran dirinya, Al-Muthi' disebut sebagai Syekh Al-Fadhl (sesepuh yang mulia).

Pada Muharram 364 H, Al-Muthi' melakukan perjalanan bersama anaknya ke Wasith. Dia meninggal pada tahun tersebut pada usia 63 tahun. Selama pemerintahannya terjadi perubahan dalam ketatanegaraan. Kekuasaan pusat tidak lagi berfungsi sebagai penguasa meski masing-masing wilayah masih mengakui kedaulatan khalifah.

sumber : republika

Sunday, May 1, 2011

Daulah Abbasiyah: Al-Muttaqi, Khalifah yang Terbuang

Dia adalah Ibrahim bin Al-Muqtadir bin Al-Mu’tadhid (940-944). Ia dilantik menjadi khalifah setelah kematian saudaranya, Ar-Radhi. Saat dilantik menjadi khalifah Bani Abbasiyah ke-21, usianya baru 34 tahun. Ibunya bernama Khalub. Ada juga yang menyebutkan Zahrah.

Dia tak mengadakan perubahan apa-apa dan tidak pernah menggauli budak-budak yang dimilikinya. Dia dikenal sebagai khalifah yang sering berpuasa dan ibadah serta tak pernah minum arak sama sekali. Dia pernah berujar, “Saya tak pernah menjadikan sesuatu sebagai teman selain Al-Qur'an.”

Sebenarnya, dalam pemerintahan Al-Muttaqi tak lebih dari sekedar simbol dan nama. Pada hakikatnya semua masalah negara dikendalikan oleh Abu Abdullah Ahmad bin Al-Khufi.

Pada 330 H, terjadi pemberontakan yang dipimpin Abu Al-Husain Ali bin Muhammad Al-Baridi. Dengan sigap Khalifah Al-Muttaqi bersama Ibnu Raiq menyongsong serangan pemberontak tersebut. Namun dalam pertempuran itu keduanya kalah dan melarikan diri ke Mosul. Sedangkan Baghdad dan istana khalifah dikuasai Al-Baridi.

Tatkala Khalifah Al-Muttaqi dalam pelariannya sampai ke Tikrit, ia bertemu dengan Abu Al-Hasan Ali dan saudaranya, Al-Hasan. Saat itu Ibnu Raiq dibunuh dengan cara rahasia dan untuk menggantikan posisinya, Al-Muttaqi mengangkat Abu Al-Hasan Ali dan menggelarinya Nashir Ad-Daulah. Ia juga mengangkat Al-Hasan dan memberi gelar Saif Ad-Daulah.

Setelah itu Khalifah Al-Muttaqi kembali ke Baghdad bersama dengan Nashir Ad-Daulah dan Saif Ad-Daulah. Melihat kedatangan tiga orang itu, Al-Baridi melarikan diri ke Wasith.

Pada Ramadhan 331 H, Tuzun masuk Baghdad. Setibanya di Baghdad, Khalifah Al-Muttaqi menobatkannya sebagai pejabat yang mengurus administrasi negara. Namun setelah itu terjadi perselisihan sengit antara Al-Muttaqi dan Tuzun. Untuk mengatasi masalah ini Tuzun segera mengirimkan Ja’far bin Syairad dari Wasith ke Baghdad. Tuzun kemudian memiliki hak penuh di Baghdad dalam memerintah dan melarang.

Melihat gejala tidak sehat ini, Al-Muttaqi segera menulis surat kepada Ibnu Hamdan  untuk datang ke Baghdad. Ibnu Hamdan datang membawa pasukan dalam jumlah besar, sedangkan Ja’far bin Syairad bersembunyi. Al-Muttaqi beserta keluarganya segera menuju Tikrit.

Sedangkan Ibnu Hamdan keluar dengan tentara dalam jumlah besar. Mereka dipersiapkan untuk menggempur Tuzun. Kedua pasukan bertemu di Akbara, ternyata Khalifah dan Ibnu Hamdan kalah dalam peperangan itu. Keduanya melarikan diri ke Mosul.

Akhirnya Khalifah menulis surat kepada Ikhsyid, pejabatnya di Mesir, untuk datang menemuinya. Muncul ketidaksukaan dalam diri Ibnu Hamdan atas tindakan tersebut, maka khalifah mengirim utusan kepada Tuzun untuk berdamai. Tuzun pun menerima tawaran damai yang diajukan khalifah. Perjanjian ini disertai sumpah.

Setelah itu Ikhsyid datang menemui Al-Muttaqi yang saat itu sedang berada di Riqqah. Ikhsyid sendiri telah mendengar perjanjian antara khalifah dengan Tuzun, yang notabene orang Turki.

Ikhsyid berkata, “Wahai Amirul Mukminin, saya adalah abdimu dan anak abdimu. Engkau tahu bagaimana perilaku orang-orang Turki dan bagaimana pengkhiatan mereka dalam masalah janji dan kesepakatan. Maka berhati-hatilah terhadap dirimu sendiri. Saya minta Khalifah berangkat bersama saya ke Mesir karena sesungguhnya wilayah itu adalah milikmu, dan engkau bisa merasa aman.”

Namun Al-Muttaqi tidak menerima tawaran Ikhsyid itu. Ikhsyid pun segera kembali ke Mesir, sedangkan Al-Muttaqi keluar dari Riqqah menuju Baghdad pada 4 Muharram 333 H.

Tuzun datang menjemput Khalifah Al-Muttaqi. Saat keduanya bertemu, Tuzun berjalan kaki dan mencium bumi menyatakan ketaatannya pada sang khalifah. Al-Muttaqi menyuruh Tuzun untuk menaiki kendaraan namun ia tak mau. Ia berjalan kaki mengiringi Al-Muttaqi menuju kemah yang sudah dipersiapkan.

Ketika Al-Muttaqi turun dari kendaraan, dia pun segera diringkus. Ikut diringkus pula Ali bin Muqlah dan orang-orang yang bersamanya. Setelah stempel, selendang dan pedangnya dirampas, Al-Muttaqi dikembalikan ke Baghdad.

Bersamaan dengan itu, Tuzun mendatangkan Abdullah bin Al-Muktafi dan melantiknya sebagai khalifah yang kemudian dia beri gelar Al-Mustafi Billah. Tak sampai setahun Tuzun memegang kendali kekuasaan, dia pun mati.

Sedangkan Al-Muttaqi dibuang ke sebuah pulau dekat Sind dan dipenjara di tempat itu. Setelah mendekam selama 25 tahun dalam penjara, Al-Muttaqi meninggal pada Sya’ban 357 H.


Sumber : Republika

Daulah Abbasiyah: Ar-Radhi, Penyair yang Piawai

Dia adalah khalifah Daulah Abbasiyah ke-20. Nama Khalifah Ar-Radhi Billah (934-940 M) adalah Abu Al-Abbas Muhammad bin Al-Muqtadir bin Al-Mu’tadhid bin Thalhah bin Al-Mutawakkil. Dia dilahirkan pada 297 H. Ibunya mantan budak yang berasal dari Romawi bernama Zhalum.

Ar-Radhi dilantik sebagai khalifah pada saat Al-Qahir dicopot dari kursi khilafah. Kemudian dia memerintahkan kepada Ibnu Muqlah untuk menuliskan semua kejahatan yang dilakukan Al-Qahir dan memerintahkan untuk membacanya di depan khalayak ramai.

Pada 323 H, pemerintahan Khalifah Ar-Radhi berjalan tenang tanpa gejolak. Ia membagi kekuasaannya dengan anak-anaknya. Dia memberi tugas kepada anaknya, Abu Al-Fadhl, untuk mengatur wilayah timur, sedangkan Abu Ja’far ditugaskan untuk mengurus wilayah bagian barat.

Pada masa kekhalifahannya, persisnya tahun ini pula, terjadi sebuah peristiwa yang sangat bersejarah dan dikenal dengan sebutan Peristiwa Syannabud, yaitu tobatnya Syannabud dari penyimpangannya terhadap Al-Qur'an. Tobatnya Syannabud ini dihadiri pula oleh Al-Wazir Abu Ali bin Muqlah.

Pada saat wibawa kekhalifahan Bani Abbasiyah menurun tajam karena adanya gerakan Qaramithah dan perbuatan-perbuatan bid’ah di berbagai wilayah, muncullah keberanian yang demikian kuat dari pemerintah Bani Umayyah, yang ada di wilayah Andalusia, yang saat itu berada di bawah pimpinan Amir Abdurrahman bin Muhammad Al-Umawi Al-Marwani untuk mendirikan pemerintahan sendiri.

Dia menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin An-Nashir Lidinillah. Dia berhasil menguasai sebagian besar wilayah Andalusia (Spanyol). Dia memiliki wibawa yang sangat besar, semangat jihad yang tinggi dan mampu melakukan penaklukan-penaklukan serta memiliki kepribadian yang menarik dan menakjubkan. Amir Abdurrahman berhasil menaklukkan para pemberontak dan mampu membuka tujuh puluh benteng.

Dengan demikian, pada saat itu ada tiga golongan yang menyebut dirinya sebagai Amirul Mukminin. Pertama, Bani Abbas yang ada di Baghdad; kedua, penguasa Umawi yang ada di Andalusia; dan ketiga, Al-Mahdi di Qairawan.

Pad 328 H, Baghdad tergenang banjir yang tingginya mencapai tujuh belas depa. Banyak manusia dan hewan yang mati dalam bencana banjir ini. Sedangkan pada 329 H, Khalifah Ar-Radhi sakit dan meninggal pada bulan Rabiul Akhir. Pada saat meninggal, dia baru berusia 31 tahun.

Khalifah Ar-Radhi dikenal sebagai seorang yang terbuka dan dermawan, luas ilmunya dan seorang penyair piawai serta bergaul dengan para ulama. Dia memiliki kumpulan syair yang dibukukan.

Al-Khatib menuturkan, “Ar-Radhi memiliki banyak keutamaan. Ia adalah khalifah terakhir yang memiliki kumpulan syair yang dibukukan, dan khalifah terakhir yang mampu melakukan khutbah Jumat. Dia adalah khalifah pertama yang duduk bersama rakyat. Dia banyak melakukan hal-hal yang sesuai dengan cara-cara orang terdahulu, bahkan dalam berpakaian dia juga banyak meniru orang-orang terdahulu.”

Abu Hasan Zarqawaih meriwayatkan dari Ismail Al-Khatabi. Ismail berkata, “Khalifah Ar-Radhi memintaku datang pada malam Idul Fitri, lalu saya datang menemuinya. Khalifah berkata, ‘Wahai Ismail, aku telah meneguhkan tekad untuk melakukan shalat Idul Fitri bersama-sama dengan rakyatku esok hari. Maka apa yang pantas aku ucapkan setelah aku berdoa kepada Allah untuk diriku sendiri?’

Saya merenung sejenak dengan kepala menunduk. Lalu saya katakan padanya, ‘Wahai Amirul Mukminin, jika selesai berdoa untuk dirimu sendiri, maka ucapkanlah, “Ya Rabb-ku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada orangtuaku dan untuk mengerjakan amal saleh yang Engkau ridhai.” (QS An-Naml: 19).

Khalifah berkata, ‘Cukuplah apa yang engkau katakan.’

Setelah saya pulang, ada seorang pelayan yang mengikutiku dari belakang, dan dia memberiku uang sebanyak empat ratus dinar.”

Sumber : Republika

Daulah Abbasiyah: Al-Qahir, Sang Penumpas Musuh

Rabu, 27 Syawwal 320 H kembali menjadi hari kelam dalam perjalanan kekhilafahan Abbasiyah. Serombongan besar pasukan Barbar yang dipimpin Muknis menyerbu ibukota untuk menggulingkan Khalifah Al-Muqtadir.

Sebelumnya, Muknis adalah seorang khadam (pembantu) khalifah. Namun pengaruh Muknis terlalu besar, hingga ia mampu tampil tak ubahnya seorang diktator yang sanggup mengangkat dan memecat pejabat sesukanya. Dalam serbuan ini, Khalifah Al-Muqtadir gugur.

Abu Manshur Muhammad Al-Qahir Billah (932-934 M) pun naik sebagai khalifah ke-19 menggantikan Al-Muqtadir pada 320 H atau 932 M. Sesuai namanya Al-Qahir yang berarti gagah perkasa, khalifah yang satu ini terkenal berani dan gagah dalam peperangan. Ia ditakuti dan disegani. Ia tak ragu-ragu menumpahkan darah musuhnya.

Namun sebagaimana umumnya manusia, ada kelebihan dan ada pula kekurangannya. Selain dikenal berani dan piawai berperang, ia tamak terhadap harta benda dan sangat keras kebijakannya. Boleh jadi sikap itu muncul karena kegeramannya terhadap situasi kacau yang melanda pemerintahan Abbasiyah sebelumnya di masa pendahulunya, sehingga menimbulkan dendam di hatinya untuk bersikap keras dan bertangan besi setelah menjabat.

Setelah duduk di tampuk kekuasaan, ia segera memerintahkan untuk merampas harta benda perempuan-perempuan gundik (harem) yang selama ini menguasai istana. Ibunda Al-Muqtadir sendiri tak luput dari penggeledahan. Dari ibu khalifah terdahulu ini berhasil dirampas uang sebanyak 60.000 dirham. Padahal angkatan bersenjata kerajaan kala itu sangat kekurangan belanja. Setelah itu, ibunda Al-Muqtadir pun dihukum bunuh.

Ibunda Al-Muqtadir tidaklah seorang diri, banyak orang istana lainnya yang dibunuh. Muknis, sang khadam yang turut berperan dalam pembunuhan Khalifah Al-Muqtadir juga dibunuh.

Usia pemerintahan Al-Qahir tidak berlangsung lama. Hanya dua tahun saja. Penyebabnya mungkin tidak terduga sebelumnya. Begitu banyak orang yang dimusuhi khalifah, bahkan terhadap wazirnya sendiri yang bernama Ibnu Muqlah. Padahal wazir ini terkenal dengan upayanya yang memperbagus (khat) kaligrafi Arab.

Ibnu Muqlah pun lari meninggalkan ibukota dan bersembunyi di kampung-kampung. Propaganda dan hasutan melawan khalifah pun ia tiupkan kepada rakyat. Tidak berhenti sampai di situ, bekas wazir ini juga merancang taktik merenggangkan hubungan khalifah dengan bala tentaranya. Hingga akhirnya seolah khalifah tiada mempunyai teman lagi.

Dan, tragedi kembali berulang. Ketika Khalifah Al-Qahir duduk seorang diri, datanglah sepasukan tentara kerajaan menangkapnya. Ia pun dimakzulkan. Setelah itu, ia dikurung dalam penjara istana yang gelap gulita. Setelah Al-Qahir ditumbangkan, naiklah Ar-Radhi menggantikannya pada 322 H.

Sumber : Republika

Daulah Abbasiyah: Al-Muqtadir Billah, Khalifah Termuda

Dia adalah Al-Muqtadir Bilah, Abu Fadhl (908-932 M). Nama aslinya Ja’far bin Al-Mu’tadhid. Ia lahir pada Ramadhan 282 H. Diceritakan, ibunya berasal dari keturunan Romawi. Ada pula yang mengatakan ibunya dari keturunan Turki. Tentang nama ibunya, para ahli sejarah juga berbeda pendapat. Ada yang mengatakan namanya Gharib. Ada juga yang mengatakan namanya Syaghab.

Saat kakaknya Al-Muktafi sakit parah, dia ditanya apakah sudah baligh atau belum. Menurutnya, ia sudah baligh karena pernah bermimpi junub. Karena itu ia pun diangkat sebagai putra mahkota.

Di adalah khalifah termuda. Belum pernah ada seorang khalifah yang diangkat sebelumnya yang lebih muda darinya. Ia mulai memerintah sebagai khalifah Bani Abbasiyah ke-18 sejak usia 13 tahun.

Salah seorang menterinya bernama yang bernama Abbas bin Hasan menganggapnya masih terlalu muda. Sang menteri berniat menurunkannya dari kursi kerajaan. Beberapa orang lainnya setuju dengan rencana itu. Mereka mempersiapkan Abdullah bin al-Mu’taz sebagai pengganti. Abdullah setuju dengan syarat peralihan kekuasaan berjalan damai.

Rencana tersebut sampai ke telinga Al-Muqtadir. Ia segera membujuk Abbas dan memberinya sejumlah uang agar tak meneruskan rencana itu. Akhirnya Abbas setuju dan menarik keinginannya. Sedangkan yang lain tetap saja melakukan pemberontakan,. Mereka menyerang Al-Muqtadir pada 20 Rabiul Awwal 296 H.

Al-Muqtadir sendiri menangkap para fuqaha dan pemimpin yang menyatakan pencopotan dirinya. Kemudian dia serahkan kepada Yunus bin Al-Khazin yang kemudian hampir membunuh semuanya. Hanya empat orang tidak dibunuh. Di antaranya hakim Abu Umar yang lolos dari pembunuhan. Ibnu Mu’taz sendiri dipenjarakan. Kemudian dia dikeluarkan dari penjara dalam keadaan menjadi mayat.

Akhirnya kekhalifahan berjalan di bawah pimpinan Al-Muqtadir. Dia mengangkat Abul Al-Hasan Ali bin Muhammad bin Furat sebagai menterinya. Dia melewati perjalanan hidupnya dengan baik, dan mampu menumpas kezaliman-kezaliman.

Al-Muqtadir memerintahkan orang-orang untuk berbuat adil. Namun karena dia masih terlalu muda, maka banyak perkara yang dia serahkan kepada orang yang dianggap sanggup untuk melakukannya. Al-Muqtadir juga memerintahkan agar tidak menggunakan orang-orang Yahudi dan Nasrani, juga melarang untuk menunggang kendaraan yang berpelana.

Pada 311 H, Al-Muqtadir memerintahkan bahwa warisan yang pernah diambil oleh para kerabat yang sebenarnya tidak berhak, hendaknya dikembalikan kepada ahli warisnya.

Pada tahun 311 H ini juga, Panglima Muknis yang bergelar Al-Muzhaffar melakukan pemberontakan. Pemberontakan ini muncul setelah Muknis mendengar Al-Muqtadir berencana mengangkat Harun bin Gharib menggantikan kedudukannya.

Pada tahun 320 H, Muknis kembali menyerang Khalifah Al-Muqtadir. Dia membawa pasukan yang kebanyakan berasal dari orang-orang Barbar. Muknis berhasil membunuh Al-Muqtadir dengan memenggal kepalanya. Peristiwa ini terjadi pada Rabu 27 Syawwal.

Dengan demikian, berakhirlah riwayat Al-Muqtadir Billah. Ia meninggalkan 12 anak laki-laki. Tiga di antara mereka kelak menjadi khalifah. Mereka adalah Ar-Radhi, Al-Muttaqi dan Al-Muthi’.

Sumber : Republika

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More